Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.”
Sepenggal kalimat sakral dari Proklamasi 17 Agustus 1945 itu pernah menggema dari Sabang sampai Merauke, menggetarkan jiwa seluruh rakyat. Kemerdekaan yang lahir dari darah, air mata, dan nyawa para pejuang rakyat biasa yang tak pernah meminta balas budi. Mereka membuktikan kepada dunia bahwa bangsa ini pemenang, tak tunduk pada mesin perang penjajah, dan rela mengorbankan segalanya demi negeri.
Namun, sejarah tak mencatat darah anggota dewan, para aparat, atau cukong-cukong yang kini merasa paling berhak mengatur nasib bangsa. Mereka yang dulu tak setetespun darahnya jatuh di tanah pertiwi, kini saling cakar berebut sisa-sisa kekuasaan. Rakyat? Hanya jadi komoditas politik setiap lima tahun sekali. Dandani, janji manis, lalu dilupakan.
Pajak diperas habis-habisan demi menutupi kebocoran keuangan negara akibat korupsi berjamaah. Aparat kerap digunakan untuk membungkam suara rakyat demi “stabilitas nasional”. Di sudut-sudut gubuk kumuh, rakyat hanya berharap besok bisa makan, masa depan sudah terlalu mahal untuk diimpikan.
Menjelang 80 tahun kemerdekaan, wajah negeri ini berubah desa menjadi kota kumuh, lahan pertanian hilang digusur pabrik milik pemodal, gedung-gedung mewah dan mal modern menjulang hanya untuk dinikmati segelintir orang kaya dan warga asing. Tata kelola pemerintahan semakin “modern”, tapi justru membuka peluang pejabat saling berebut menggarong uang rakyat. Satu hal yang tak pernah berubah: kemiskinan rakyat dan mahalnya harga keadilan.
Rakyat Indonesia tetap sabar, tetap tegak, meski haknya dijarah, meski dieksploitasi demi partai politik, meski keadilannya dijual murah oleh pejabat negara. Tetapi sejarah juga mengajarkan, ketika kesabaran rakyat habis, tak ada kekuatan kekuasaan yang mampu menahan amarahnya.
Bapak Presiden Prabowo dan seluruh pemegang kekuasaan, ingatlah bahwa bangsa ini punya semboyan yang menggetarkan, diwariskan dari generasi pejuang :
“Jika hidup tak lagi punya makna, maka mati adalah kewajiban mulia, demi menjaga marwah bangsa dan negara.” (Red)