Medan (Pewarta.co)-KASUS dugaan kejahatan perbankan oleh PT Bank UOB Indonesia telah menjadi preseden kelam dalam sejarah perlindungan nasabah di Indonesia. Skema manipulatif yang diduga melibatkan jajaran tertinggi manajemen bank ini tidak hanya merugikan secara material, tetapi juga mengguncang fondasi kepercayaan publik terhadap integritas industri perbankan. Dalam pusaran kasus ini, aset milik nasabah berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No. 81 dengan luas 17.220 meter persegi dan bangunan seluas 4.500 meter persegi, senilai Rp87,74 miliar, raib secara tidak sah akibat praktik yang diduga melibatkan penipuan, penggelapan, pemalsuan dokumen otentik notaris, serta penyuapan aparat penegak hukum dan pejabat pertanahan.
Pusat dari kejahatan ini diduga dikendalikan oleh Hendra Gunawan, Direktur Utama PT Bank UOB Indonesia, bersama Charles, Vice President bank yang sama.
Keduanya diduga menyusun dan mengorkestrasi serangkaian kejahatan terstruktur dengan melibatkan oknum pejabat BPN Kabupaten Tangerang dan hakim di lingkungan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Modus yang dilakukan mencakup peletakan hak tanggungan secara tidak sah atas SHGB No. 81, manipulasi dokumen hukum, serta dugaan suap untuk memengaruhi putusan hukum — termasuk putusan banding nomor: 1231/PDT/2024/PT DKI dan putusan tingkat pertama nomor: 754/Pdt-G/2023/PN JKT PST.
Lebih mengkhawatirkan, jejak kriminalitas bank ini mengarah pada kegiatan usaha perbankan ilegal yang disebut-sebut berlangsung dari tahun 1992 hingga 2010, sebelum PT Bank UOB Indonesia secara resmi berdiri di bawah struktur yang dikenal saat ini. Dugaan kejahatan ini tidak lagi bersifat perdata semata, tetapi telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi yang sistematis dan berencana, di mana terdapat kesengajaan untuk menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan, termasuk memberikan keterangan palsu di persidangan untuk menutupi jejak pelanggaran.
Lebih jauh lagi, pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian (prudential principle) yang menjadi pondasi utama tata kelola bank, menandai bahwa tindakan ini bukan semata kekeliruan administratif, tetapi bentuk nyata pembangkangan terhadap etika dan aturan perbankan nasional. Tindakan ini menciptakan risiko sistemik yang dapat menjalar luas ke seluruh jaringan nasabah Bank UOB Indonesia, dan bahkan mengganggu kepercayaan nasabah internasional, mengingat UOB merupakan institusi perbankan asing dengan saham mayoritas dimiliki investor global hingga 76 persen.
Jika kasus ini tidak segera ditangani secara terbuka dan tegas oleh otoritas Indonesia, termasuk OJK dan Bank Indonesia, maka akan terbentuk persepsi bahwa bank asing bisa bermain kotor di Indonesia tanpa konsekuensi. Pemerintah Singapura sebagai negara asal Bank UOB pun tidak bisa tinggal diam. Pemangku kepentingan utama di Singapura perlu mengambil langkah cepat untuk menyelamatkan kredibilitas lembaga keuangan mereka di mata dunia. Skandal ini tidak hanya mencoreng wajah UOB Indonesia, tetapi berpotensi menyeret reputasi seluruh entitas grup perbankan UOB di kawasan Asia.
Indonesia sedang menghadapi ujian serius dalam menegakkan kedaulatan hukum di sektor strategis seperti perbankan. Jika hukum tunduk pada uang dan koneksi, maka sistem perlindungan terhadap nasabah hanyalah ilusi. Kasus PT Bank UOB Indonesia adalah alarm keras bagi OJK, BI, KPK, dan Mahkamah Agung untuk membuktikan bahwa keadilan di negeri ini masih hidup. Jika tidak, maka kejahatan perbankan seperti ini akan menjadi virus laten yang menghancurkan tatanan hukum dan kepercayaan publik dari dalam.(ril)