Medan (pewarta.co)
Demo sejumlah mahasiswa yang mengatasnamakan Masyarakat Anti Korupsi di Universitas Sumatera Utara (USU) bertepatan dengan digelarnya seminar di kampus plat merah yang diisi dengan diseminasi revisi Undang – undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam tuntutannya, para demonstran menolak revisi Undang – undang KPK. Demo digelar berbarengan dengan seminar nasional soal urgensi revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 di kampus plat merah tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Rektor USU, Runtung Sitepu menyebutkan, seminar di kampusnya tidak ada membahas soal upaya pelemahan KPK. “Ini justru memberikan kesempatan kepada para akademisi untuk memberikan masukan. Tentu saja berkaitan dengan draf Rancangan UU itu. Di mana jika RUU dianggap memperlemah KPK, saya kira ini akan mendapat sorotan tajam nanti dari akademisi,” kata Runtung.
Terpisah, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara (LHKP – PWMSU) Shohibul Anshor Siregar menegaskan revisi Undang – undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukanlah hal penting. Sebab, revisi UU itu hanya memfokuskan kepada hal-hal kecil. Karenanya, Sosiolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menilai, KPK seharusnya menjadi lembaga yang mampu memberantas korupsi secara totalitas.
Bukannya memberantas cabang-cabang korupsi tanpa memberantas akarnya. “RUU ini tidak urgent untuk dibicarakan. Sebab, hanya terfokus pada isu-isu kecil. Misalnya, penyadapan, SP3, penyitaan, Dewan Pengawas dan Sumber SDM Penyidik. Padahal yang kita butuhkan sekarang adalah, bagaimana membuat sebuah lembaga yang efektif memberantas korupsi, karena dia tahu di mana korupsi yang sesungguhnya terjadi dan di mana akar korupsi itu,” tegas Shohibul.
Selanjutnya, Shohibul menuturkan, framing KPK melalui media nasional yang menyebutkan jika korupsi terbesar berada di daerah itu tidak benar. Karena, menurutnya korupsi terbesar berada pada jumlah anggaran terbesar. Semisal, pemerintahan pusat yang mengatur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Korupsi terbesar, ada di induk kekuasaan. Jika dimulai pemberantasannya dari situ, akan lebih efisien, berbiaya murah dan efektif. Juga tanpa gonjang-ganjing politik yang kita hadapi sekarang,” tutur kordinator umum Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBasis) ini.
Lebih lanjut Shohibul menerangkan, korupsi terbesar bukan berasal dari dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD/APBN). KPK yang sebelumnya cukup bekerja sangat efektif. Mereka dapat membedakan antara korupsi yang dananya dari sumber tersebut.
“Orang sekarang tidak sadar bahwa korupsi di Indonesia tidak seperti yang digambarkan oleh KPK, yang seolah-olah lebih besar ada di legislatif dan daerah. Kemudian, korupsi itu jauh lebih besar di luar pemerintahan atau di sektor bisnis. Berbeda dengan KPK jilid I, fokus mereka benar-benar menggambarkan peta korupsi nasional Indonesia, yang secara jelas membedakan korupsi uang brankas dan non-brankas. Korupsi uang non-brankas (non APBD/APBN) itu sebenarnya jauh lebih besar, karena pemerintahan sangat dikendalikan oleh pemodal. Lihatlah, tidak ada satu orang pun yang berani mereka sebut sebagai tersangka dalam kasus pembakaran lahan. Padahal
kekuasaan itu bukan bersumber dari Presiden, tetapi Undang-Undang,” terangnya.
Shohibul memaparkan, di Indonesia sendiri, belum ada lembaga pemberantasan korupsi yang benar-benar efektif. Sebab, sumber korupsi itu berdasar dari ‘kesenjangan’. Masyarakat tahu, kesenjangan di negeri ini belum mampu diatasi pemerintah. Karenanya, korupsi di Indonesia akan terus bergenerasi selagi kesenjangan belum dapat diatasi.
“Di Indonesia, jika korupsi sungguh-sungguh diberantas berdasarkan peta permasalahannya, maka masalah terbesar di negeri ini pasti dapat ditanggulangi, yakni ‘kesenjangan’, luar biasa parah. Karena itu, isu revisi UU KPK adalah permainan politik yang menggelikan. Jika berani, rombaklah KPK itu, sehingga mampu membuat peta korupsi yang benar dan mulai kerja dari induk kekuasaan,” paparnya. (rks)