Padangsidimpuan (Pewarta.co)-Badan Kerja Sama Antar Gereja (BKAG) Kota Padangsidimpuan menginisiasi Diskusi Adat dan Agama bersama 52 perwakilan marga Batak Toba.
Diskusi itu dihelat dalam sebuah forum yang digelar di Gereja GPdI Solagratia, Jalan Danau Toba No. 2A, Padangsidimpuan, Senin (11/8/2025).
Kegiatan yang dimulai pukul 09.30 WIB ini diawali dengan ibadah pembukaan, dan dibuka secara resmi oleh Ketua Umum BKAG Kota Padangsidimpuan, Pdt Henwen Jona Marpaung, M.Th.
Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya penyelarasan antara nilai-nilai adat dan kehidupan beragama, terutama dalam konteks pelaksanaan pesta adat.
Ketua Panitia, Pdt Dr. Rahmad Nainggolan, M.Th, dalam laporannya menyampaikan bahwa diskusi ini diikuti oleh 52 ketua marga, masing-masing diwakili dua orang.
Diskusi bertujuan menyamakan persepsi tentang tata cara pelaksanaan adat, khususnya dalam pesta pernikahan dan kemalangan, yang selama ini kerap berlangsung hingga malam hari.
“Harapan kami, forum ini mampu merumuskan solusi yang realistis dan dapat diterapkan oleh masyarakat Batak Toba di Kota Padangsidimpuan agar pelaksanaan adat tetap bermartabat, namun tidak menyita waktu secara berlebihan,” ujar Rahmad, alumnus SMAN 2 Padangsidimpuan.
Anggota DPRD Kota Padangsidimpuan dari Fraksi Golkar, Marini boru Hutabarat, yang turut hadir dalam forum tersebut, mengapresiasi inisiatif BKAG. Ia menilai diskusi ini sangat relevan dengan harapan masyarakat.
“Kita memberi apresiasi kepada BKAG yang peka terhadap dinamika masyarakat. Diskusi ini bisa menjadi langkah awal untuk efisiensi waktu dalam pesta adat, tanpa mengurangi nilai-nilai budaya,” ujarnya.
Diskusi yang terbagi dalam lima kelompok ini berhasil mengidentifikasi sejumlah penyebab utama lamanya pelaksanaan pesta adat, antara lain kurangnya manajemen waktu dan tidak adanya kesepakatan teknis antara pihak keluarga pengantin.
Para peserta kemudian sepakat untuk mengedepankan efisiensi dan komitmen terhadap waktu.
Pengantin wanita diimbau tidak mengganti pakaian dua kali (berbeda antara saat pemberkatan di gereja dan di gedung pesta).
Pemberlakuan waktu makan pembukaan adat (marsibuhabuhai) secara tepat waktu pada pagi hari.
Sesi foto dibatasi hanya dilakukan di gereja dengan tiga momen utama, yaitu bersama pendeta, orang tua pengantin pria, dan orang tua pengantin wanita.
Pemberian upa-upa disederhanakan baik dari pihak pengantin pria maupun wanita.
Pemilik gedung pesta diminta menyiapkan beberapa titik distribusi makanan untuk mempercepat pelayanan tamu.
Pesta diharapkan selesai paling lambat pukul 18.00 WIB. Pemilik gedung diharapkan memberikan peringatan menjelang waktu yang telah disepakati.
Selain itu, disarankan agar pihak keluarga pengantin membuat kesepakatan teknis sebelum pesta berlangsung dan menyampaikan hal itu kepada hula-hula yang datang dari luar kota agar tidak terjadi miskomunikasi.
“Rumuskan pelaksanaan adat secara singkat, padat, dan teratur tanpa mengurangi nilai adat itu sendiri,” tegas Pdt Henwen Marpaung.
Adapun pelaksanaan adat kemalangan juga turut dibahas, meskipun belum menghasilkan keputusan final.
Diskusi sepakat bahwa pelaksanaannya tetap mengikuti struktur adat yang berlaku, dan akan dibicarakan lebih lanjut dalam forum mendatang.
Kegiatan ini terselenggara berkat kerja sama BKAG dengan berbagai lembaga keumatan Kristen, antara lain Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Persatuan Intelektual Kristen Indonesia (PIKI), serta Badan Musyawarah Antar Gereja Nasional (Banagnas), yang diketuai oleh Pdt Kekmin W. Aritonang, S.Th.
Diskusi ini menjadi langkah awal untuk merumuskan kesepahaman baru antara adat dan agama di tengah perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat modern.(Rts)