Opini (Pewarta.co) – Penulis : Henneri SH (Pemuda Aceh Selatan, Alumni Ilmu Hukum USK)
Di Aceh Selatan, seorang Bupati baru seolah sedang memimpin kapal yang penuh lubang, ditinggalkan begitu saja oleh nakhoda lama. H Mirwan MS baru enam bulan berlayar, tapi sudah harus menguras tenaga menimba air agar kapal tidak karam. Defisit anggaran Rp 267 Milyar, utang yang menumpuk Rp184,2 miliar, hingga konflik tambang yang tak kunjung padam adalah hadiah dari rezim sebelumnya. Ironisnya, ada pula orang yang tetap menuntut kapten baru ini segera berlayar kencang, seakan-akan lubang di lambung kapal itu bukan peninggalan masa lalu.
Lihatlah betapa ruwetnya warisan itu. Pada masa Tgk Amran, lahir tiga rekomendasi IUP eksplorasi. Belum sempat napas, Pj Bupati Cut Syazalisma malah menambah empat rekomendasi lagi. Jadilah tujuh bom waktu yang kini diletakkan di pangkuan Mirwan. Belum cukup, Cut Syazalisma juga sempat memberikan PKKPR pada PT ALIS, sebuah perusahaan yang kini diduga menggarap lahan tanpa HGU. Akibatnya, lahan masyarakat ikut terkorbankan. Siapa yang kini dituding? Bukanlah yang menandatangani, melainkan yang sekarang duduk di kursi Bupati.
Kasus tenaga PPPK pun tak kalah getir. Alih-alih memanfaatkan formasi nasional, Cut Syazalisma hanya membuka seratusan lowongan. Padahal gaji PPPK bersumber dari APBN, bukan APBK. Kini, sebanyak 4.119 tenaga non-ASN hidup dalam ketidakpastian. Solusi darurat berupa PPPK paruh waktu yang dibuka Kemenpan RB sekadar menjadi obat penahan rasa sakit, namun tetap saja akan gajinya dari APBK. Lagi-lagi, publik menuntut Mirwan. Padahal, yang melepaskan kesempatan emas sebelumnya itu jelas bukan dirinya.
Masalah birokrasi juga tak kalah kusut. Pejabat SKPK yang tak lagi punya daya dorong dibiarkan bertahun-tahun. Mirwan memang belum berani mengutak-atik jabatan, tetapi kondisi itu pun warisan. Rotasi dan mutasi ditunda, birokrasi tetap jalan di tempat, dan kinerja daerah pun macet. Yang mendapat stigma “tak becus”? Lagi-lagi orang yang baru duduk enam bulan.
Di medan konflik sosial, bara tak kalah panas. Perseteruan PT PSU dengan masyarakat Manggamat, konflik PT ASN, hingga tanah adat di Kluet Timur dan Kluet Selatan, semua sudah lama tercium. Tapi anehnya, semua bom sosial itu dibiarkan meledak di pangkuan Bupati yang baru. Mirwan kini dituntut jadi pemadam kebakaran, meski yang menyalakan api adalah rezim lama.
Masalah paling klasik tentu fiskal. Utang Rp184,2 miliar tidak mungkin dibayar di APBK murni, karena tak ada pos anggaran. Jalan keluarnya hanya menunggu APBK perubahan. Tapi bagaimana publik melihat ini? Lagi-lagi, bukan kegagalan masa lalu yang disorot, melainkan ketidakmampuan masa kini.
Dalam kacamata analisis intelijen, situasi ini ibarat adanya operasi garis dalam. Lawan politik cukup duduk manis, tak perlu berbuat apa-apa. Bom waktu yang ditanam sebelumnya kini meledak sendiri. Mereka hanya tinggal menyebar narasi seakan“Bupati tak mampu bekerja, enam bulan hanya sibuk melayani tamu sampai dini hari.” Padahal, menerima tamu sampai larut justru memperlihatkan niat baik membangun kedekatan dengan rakyat. Tapi dalam operasi psikologis, citra bisa dipelintir jadi kelemahan seperti pemimpin yang lemah, kehabisan energi, tidak fokus pada hal strategis.
Skema operasi intelijen politik sangat mungkin dimainkan. Pertama, operasi garis dalam dengan menyusupkan isu bahwa Mirwan tidak berani melakukan mutasi karena takut pada kelompok tertentu, sehingga terkesan tidak punya kendali. Padahal secara dimainkan sisi pihak lawan menitipkan orang-orangnya pada posisi strategis seperti yang berkaitan dengan keuangan, tata kelola pemerintahan, perizinan hingga proyek. Kedua, operasi psikologis dimana upaya yang dilakukan bisa saja dwngan menyebarkan narasi di media sosial bahwa janji-janji kampanye hanya pepesan kosong, karena utang menumpuk dan program stagnan. Ketiga, operasi agitasi massa dengan mengangkat isu tenaga non-ASN, mendorong unjuk rasa dengan narasi “Bupati tidak peduli nasib rakyat kecil.” Dan keempat, operasi tambang yakni memanfaatkan konflik perusahaan versus masyarakat sebagai panggung untuk melemahkan legitimasi pemerintah daerah.
Jika tidak hati-hati, Mirwan bisa terjebak dalam jebakan klasik dimana sibuk meladeni tamu sampai dini hari, sementara lawan politik sibuk mengatur operasi wacana untuk menggerus kepercayaan publik. Dalam politik lokal, persepsi jauh lebih mematikan daripada fakta.
Tentu saja, semua masalah ini memang warisan. Tetapi rakyat jarang mengingat siapa yang menanam, mereka hanya peduli siapa yang memanen. Dan sayangnya, yang kini memanen badai adalah Bupati baru. Jika ia gagal mengubah strategi dari pemadam kebakaran menjadi arsitek solusi, maka operasi intelijen politik lawan akan berjalan mulus.
Bupati Mirwan punya pilihan, tetap asyik menjadi pelayan tamu sepanjang malam, atau bangkit sebagai pengambil keputusan strategis baik kontra intelijen maupun solusi berupa kebijakan. Karena pada akhirnya, sejarah hanya mencatat siapa yang berhasil menyelesaikan masalah, bukan siapa yang mewarisi.