Opini (Pewarta.co) – Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
BANGSA ini seolah hidup di rumah tipe 21 yang pengap dimana ketika melangkah ke depan ijazah Jokowi, ke belakang ijazah Jokowi, ke kiri dan kanan pun sama saja. Dimana pun kaki melangkah, bayang-bayang selembar kertas bernama ijazah itu terbentang luas, menutupi lanskap politik negeri. Kita seakan terhipnotis oleh pesona seorang mantan presiden yang bahkan setelah turun tahta, auranya tetap menyihir para jenderal bintang empat hingga politisi kawakan.
Lucunya, skandal ijazah yang mestinya hanya jadi bahan obrolan warung kopi berubah jadi panggung politik nasional. Presiden baru yang dulunya terkenal meledak-ledak, tiba-tiba menjadi selembut kapas ketika berhadapan dengan bayang-bayang Jokowi. Ada semacam pesona aneh yang macho sekaligus erotis seakan membuat para penguasa negeri kehilangan logika di hadapan lelaki asal Solo itu.
Yang membuat publik ternganga bukan sekadar tuduhan ijazah palsu, melainkan bagaimana Jokowi menanggapinya dengan tenang, senyum tipis, seolah sedang menonton wayang yang ia sendiri dalangnya. Tak ada kegugupan, tak ada rasa bersalah. Kebohongan baginya bukan dosa, melainkan seni. Seperti pelukis ulung, ia melapis kebohongan demi kebohongan hingga membentuk kanvas politik yang memikat mata, meski tak jelas kebenarannya.
Di negeri lain, politisi yang tersandung dugaan ijazah palsu mungkin sudah tenggelam dalam malu, namun disini, justru tumbuh menjadi mitos. Bahkan semakin banyak yang meragukan, semakin kuat pula pesonanya. Publik seolah lupa bahwa syarat menjadi presiden di negeri ini bukan sekadar ijazah asli, melainkan ijazah yang “diyakini asli”. Maka jangan heran bila orang yang tersandung tuduhan bisa tetap melenggang ke istana, sebab negeri ini sudah terbiasa menukar standar hukum dengan standar hiburan.
Ironinya, publik yang paling gaduh menyoal ijazah justru sering kali tak sadar sedang menjadi figuran dalam panggung besar Jokowi. Mereka mengejar-ngejar keaslian ijazah, sementara Jokowi sudah melangkah jauh dengan strategi politik yang nyata. Seperti orang sibuk mencari benang yang kusut di tikar, padahal rumahnya sudah hampir terbakar.
Mungkin benar, sejarah telah menakdirkan Jokowi sebagai politisi dengan cacat bawaan yang lahir dari rahim demokrasi yang setengah matang, dibesarkan dalam budaya politik yang menganggap bohong sebagai keterampilan bertahan hidup. Dengan ijazah yang diragukan saja ia bisa dua kali menjadi presiden, bayangkan jika ijazahnya benar-benar asli? Mungkin negeri ini sudah terlalu kecil untuk menampung ambisinya.
Karena itu, boleh jadi kita patut bersyukur kepada Tuhan bahwa Jokowi hanya ditakdirkan dengan ijazah yang selalu diperdebatkan. Sebab jika ia dibekali ijazah yang benar-benar sahih, mungkin kita sudah melihat republik ini bukan sekadar bergetar, melainkan luluh lantak.