Aceh (Pewarta.co)-Pemerintahan H. Mirwan MS di Aceh Selatan (2025–2030) masih baru seumur jagung, namun sudah disuguhi sejumlah polemik yang mestinya menjadi alarm dini.
Publik tentu masih ingat bagaimana keterlambatan pergeseran anggaran terjadi, yang berdampak pada tersendatnya kegiatan pembangunan dan layanan publik.
Bahkan, sempat beredar surat resmi atas nama Bupati yang dinilai keliru redaksinya dan menuai kritik, seolah-olah tim di lingkaran birokrasi bekerja tanpa penyaringan yang matang.
Fenomena ini tidak bisa dipandang sekadar sebagai ‘kesalahan teknis’ atau ‘ketidaktelitian administratif’.
Ada pola yang perlu dicermati misalkan ketika kelemahan itu dibiarkan berulang, ia bisa menjadi instrumen politik untuk melemahkan kepemimpinan.
Inilah yang dalam literatur intelijen disebut sebagai operasi garis dalam yakni sebuah strategi menanam orang dalam struktur lawan untuk melemahkan dari dalam, bukan dengan serangan frontal.
Di Aceh Selatan, realitas birokrasi memang sering bercampur dengan politik.
Banyak pejabat bukan hanya aparatur, melainkan juga ‘politisi ber-seragam dinas’ yang mahir menjaga jabatan dengan kedekatan, bukan dengan kinerja.
Mereka yang sebenarnya tak berkapasitas, bisa tetap bertahan hanya karena tahu jalur pendekatan ke lingkaran kuasa.
Bagi kepala daerah yang baru, terutama yang masih belajar membaca peta intrik birokrasi, ini adalah jebakan yang berbahaya.
Keterlambatan pergeseran anggaran, misalnya, bukan sekadar urusan administrasi, namun bisa saja hasil dari sandbagging pejabat yang sengaja memperlambat proses agar kebijakan terlihat gagal.
Begitu juga kesalahan surat atas nama Bupati, di satu publik membaca itu sebagai keteledoran pimpinan, padahal bisa saja itu buah dari ‘loyalitas ganda’ birokrat yang membiarkan kesalahan lolos tanpa koreksi, walau memahami dampaknya namun tetap membiarkan hal itu terjadi tanpa memberikan masukan dan pertimbangan rasional.
Setidaknya, tiga modus operasi yang biasanya dilakukan, pertama penitipan jabatan kunci di mana sejumlah posisi strategis justru diisi oleh figur yang diragukan kapasitasnya, namun sangat ‘ramah politik’, pandai bermain peran dan intrik.
Berikutnya yakni membiarkan blunder, di mana birokrat tersebut tahu konsekuensi, tapi sengaja diam agar kesalahan jatuh ke pundak Bupati.
Modus lainnya yakni, menjauhkan orang-orang yang dianggap punya filter kuat dan analisis mumpuni penyaring dan punya keberanian untuk berkata ‘tidak’ serta yang dinilai berpeluang memberi masukan kritis agar dipinggirkan atau menjauh secara perlahan dari lingkaran, sehingga lingkaran pimpinan dengan dapat lebih mudah diterobos dengan penyamaran berbalut bahasa manis.
Jika situasi ini tidak segera diantisipasi, konsekuensinya akan berlapis.
Pertama, publik kehilangan kepercayaan pada kepemimpinan H. Mirwan karena kesalahan kecil akan terus tampak sebagai kelalaian pribadi, padahal bisa saja akar masalahnya adalah sabotase dari dalam.
Kedua, program strategis bisa terhambat hanya karena permainan waktu dan dokumen.
Ketiga, lawan politik yang gagal di Pilkada justru berhasil mengendalikan panggung dari balik meja birokrasi, dan mereka yang sepenuh hati ingin mewujudkan perubahan justru dipaksa harus menonton drama klasik.
Bupati tidak boleh terjebak dalam pola “asal bapak senang” yang sering dimainkan birokrat berloyalitas ganda. Yang dibutuhkan adalah tiga langkah nyata:
1. Selektif pada masukan. Setiap nota dinas atau keputusan strategis harus disertai analisis risiko, alternatif kebijakan, dan dissenting opinion. Tidak ada lagi masukan mentah yang langsung disetujui.
2. Tegas pada penataan. Operasi bersih-bersih mutasi berbasis merit harus segera dijalankan, khususnya di jabatan yang mengendalikan tata kelola pemerintahan, uang, izin, dan pengadaan.
3. Transparan ke publik. Setiap keputusan penting perlu dikomunikasikan dengan alasan yang rasional, agar framing dari ‘garis dalam’ tidak sempat berkembang.
Aceh Selatan tidak kekurangan SDM birokrasi yang berkualitas, hanya saja banyak dari mereka dipinggirkan oleh permainan politik.
Jika H Mirwan berani menghadirkan kontra intelijen yang tepat dengan membangun ring kebijakan yang selektif dan menjaga filter kebijakan tetap hidup, maka operasi garis dalam tidak akan menemukan ruang bernafas.
Polemik seperti keterlambatan anggaran dan kesalahan surat tidak boleh dianggap remeh, namun harus dibaca sebagai sinyal bahwa ada sesuatu yang salah dan diantisipasi dalam mekanisme penyaringan kebijakan.
Bupati mesti segera menutup celah ini, sebab jika dibiarkan, bukan hanya birokrasi yang terganggu, tapi juga legitimasi kepemimpinan yang bisa runtuh perlahan dari dalam dan menjadi bom waktu bagi langkah pemerintahan ke depan.
Jika H Mirwan berani menghidupkan kembali figur-figur penyaring maka operasi garis dalam tak punya ruang bernafas.
Penyaring bukanlah semata-mata pembisik, karena penyaring diperlukan untuk menganalisis situasi, memahami pendekatan intelijensi dan melakukan pengendalian agar tidak terjerumus dalam buaian, serta memastikan agenda berjalan on the track sesuai visi dan misi.
Dalam suatu pemerintahan, kerap kali pandangan kritis dan kontra intelijen diperlukan untuk menyelamatkan kepentingan publik serta kebijakan strategis pimpinan.
Harus kita akui bahwa seorang kepala daerah bukanlah malaikat yang terbebas dari kekhilafan dan kealpaan di tengah kesibukan, sehingga diperlukan filtrasi yang kuat untuk senantiasa memiliki ruang untuk mengingatkan dan memberi masukan.
Semoga saja visi mulia untuk mewujudkan Aceh Selatan yang maju, produktif dan madani dapat diwujudkan dengan semaksimal mungkin demi menjawab harapan rakyat yang telah memberikan mandat kepada H Mirwan MS dan H Baital Mukadis untuk memimpin Aceh Selatan.