Opini (Pewarta.co) – Oleh : Sri Radjasa M.BA (Pemerhati Intelijen)
Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang diberi nama “Whoosh” semula diproyeksikan sebagai tonggak sejarah modernitas Indonesia. Pemerintah menepuk dada sembari bicara inilah bukti lompatan teknologi, simbol bangsa yang tak lagi tertinggal. Tapi euforia peresmian itu tak mampu menutupi angka-angka yang kian menyesakkan. Proyek yang sejak awal diperkirakan menelan biaya Rp 86,67 triliun kini membengkak menjadi Rp 116 triliun. Lonjakan hampir Rp 30 triliun itu bukan sekadar kalkulasi yang meleset, melainkan sinyal bahwa kita sedang menaiki kereta cepat menuju jurang finansial.
Lebih ironis lagi, bunga pinjaman yang semula disepakati 2 persen dengan tenor 40 tahun mendadak berubah menjadi 3,4 persen dengan tenor hanya 30 tahun. Sebuah lonjakan yang dipaksakan, seperti membeli tiket dengan harga promosi tapi tiba-tiba dikenai tarif pesawat jet pribadi di meja kasir. Anehnya, Indonesia hanya bisa pasrah, mengangguk, dan membayar. Alih-alih tampil sebagai negara berdaulat yang mampu menegosiasikan syarat kredit, kita justru terlihat seperti debitur yang tak berdaya.
Kondisi ini membuat PT Kereta Api Indonesia dan konsorsium BUMN yang terlibat megap-megap. Neraca keuangan mereka merah merona, proyeksi pendapatan tak sebanding dengan ongkos operasional, dan bayangan gagal bayar mengintai di tikungan rel. Bank Indonesia mencatat, hingga Agustus 2021, utang luar negeri Indonesia ke China mencapai US$21,2 miliar atau sekitar Rp305 triliun. Angka ini melonjak 400 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Dari jumlah itu, proyek Whoosh menyumbang beban Rp116 triliun atau sekitar US$7,2 miliar. Jika ini bukan bom waktu, lalu apa namanya?
Kisah seperti ini bukan monopoli Indonesia. Sri Lanka lebih dulu merasakannya. Mereka membangun Pelabuhan Hambantota dengan dana pinjaman dari China. Ketika gagal bayar, pelabuhan strategis itu pun jatuh ke tangan Beijing dengan skema konsesi 99 tahun. Beberapa negara Afrika juga bernasib serupa dimana infrastruktur megah yang awalnya dibanggakan, akhirnya menjadi monumen keterikatan pada kreditur asing. Kepala Badan Intelijen Inggris, Richard Moore, menyebut pola ini sebagai debt trap diplomacy. Bahasa kita lebih lugas yaitu disebut sebai ‘jerat hutang’. China menawarkan pinjaman dengan wajah ramah, tapi di belakang ada kuitansi politik yang jatuh tempo kapan saja.
Indonesia kini sedang berada di rel yang sama. Suku bunga naik, tenor dipangkas, beban membengkak, BUMN terengah-engah. Semua gejalanya identik. Pertanyaannya, apakah kita sadar sedang digiring, atau justru sengaja masuk perangkap sambil bertepuk tangan? Jika pada akhirnya Whoosh benar-benar diambil alih China akibat gagal bayar, Indonesia akan kehilangan kendali atas sektor strategis perhubungan darat. Itu bukan sekadar proyek transportasi, melainkan akses vital yang menyangkut logistik, mobilitas, bahkan pertahanan. Bayangkan, kunci rumah kita dipegang orang lain, hanya karena kita tak mampu melunasi cicilan sofa di ruang tamu.
Ironi terbesar dari proyek ini adalah klaimnya sebagai simbol kemandirian teknologi. Faktanya, yang lebih kentara adalah ketergantungan. Pemerintah boleh saja berpose gagah saat meresmikan Whoosh, tapi di meja negosiasi kita terlihat gamang. Alih-alih menekan bunga pinjaman, kita justru manut ketika syarat diperketat. Publik pun dibuat bingung, apakah kereta cepat ini benar-benar sebuah pencapaian, atau sekadar proyek mercusuar yang mewariskan utang?
Kedaulatan memang jarang hilang sekaligus. Ia terkikis pelan-pelan, lewat angka, lewat bunga, lewat tanda tangan di atas kertas. Dulu musuh datang dengan kapal perang, kini mereka datang dengan kontrak pinjaman. Dulu kita mengusir penjajah dengan bambu runcing, kini kita bisa kehilangan kedaulatan hanya karena gagal bayar cicilan kereta. Bedanya, dulu rakyat tahu siapa musuhnya. Sekarang, rakyat justru diajak bersorak setiap kali kereta melintas, seakan-akan utang yang menjerat itu tak pernah ada.
Whoosh memang melaju cepat di atas rel, tapi arah lajunya patut ditakuti. Dari Purwakarta ia bisa saja meluncur ke jurang politik dan ekonomi, langsung ke pelukan kreditur yang lihai. Sejarah akan mencatatnya bukan sebagai ikon kemajuan, melainkan sebagai kereta yang membawa bangsa ini menabrak kedaulatannya sendiri. Dan pada saat itu, bunyi “whoosh” tak lagi terdengar gagah, melainkan seperti desahan terakhir sebuah negara yang tergadai.