Medan (Pewarta.c)-Sudah 27 tahun reformasi berjalan, tapi yang lahir bukanlah bangsa baru yang berdaulat, melainkan republik dengan wajah lama yang penuh limbah politik, ekonomi, hukum, dan sosial.
Demokrasi yang dijanjikan sebagai ruang supremasi sipil berubah menjadi pasar gelap, tempat para elit menukar kepentingan dengan kursi kekuasaan.
Reformasi, tanpa revolusi moral dan etika, hanya menyuburkan penyakit lama berupa korupsi, dinasti politik, dan kegagalan negara memahami arti kedaulatan.
Hari ini, rakyat menyaksikan hukum yang tegak lurus hanya ke arah istana, sementara pembangunan ekonomi sekadar menyalurkan oksigen bagi pemilik modal.
Anggaran negara bergantung pada pajak rakyat kecil dan utang luar negeri, membuat negeri ini tampak seperti rumah besar yang dibiayai dengan rentenir.
Di panggung politik, yang menguasai layar adalah keluarga penguasa dan sandera oligarki. Bangsa ini kerap lupa pada jati dirinya, lebih bangga mengutip jargon asing daripada menggali kearifan sendiri. Reformasi, yang dulu dielu-elukan, justru menyumbang retaknya fondasi ketahanan nasional.
Namun, di tengah kebisingan politik yang memekakkan, sesekali lahir gagasan waras yang menyentuh nurani kebangsaan.
Program Sekolah Rakyat adalah salah satunya. Ia bukan sekadar tempat menyekolahkan anak-anak miskin, melainkan sebuah simbol perlawanan terhadap kemiskinan struktural.
Sekolah Rakyat merajut kembali nasionalisme yang tercerai-berai, menjadi perekat di antara elemen bangsa, sekaligus penawar bagi dikotomi kaya-miskin yang semakin menganga.
80 tahun merdeka, rakyat lebih sering jadi penonton dalam sinetron panjang berjudul Kembalikan Indonesia Padaku. Negeri ini bagai rumah yang dikontrakkan pada asing, sementara pemilik sahnya yaitu rakyat hanya menjadi tamu yang numpang lewat.
Kekayaan alam yang mestinya jadi anugerah ilahi, malah berubah menjadi malapetaka karena dikeruk segelintir orang.
Ironisnya, rakyat yang berhak menikmatinya harus berbaris panjang membayar pajak, sementara para penguasa bersandiwara soal nasionalisme.
Tetapi jangan salah sangka, bangsa ini bukan bangsa lemah. Ia tidak runtuh meski dikhianati aparat hukum, tidak punah meski dirampas haknya oleh penguasa, dan tidak gentar meski terus diteror dengan ketidakadilan.
Justru di dalam derita itu, rakyat menyimpan daya tahan luar biasa. Mereka masih percaya, akan ada pemimpin yang tidak sekadar berotak teknokrat, tapi berhati negarawan.
Pemimpin yang sanggup melahirkan program kerakyatan, bukan sekadar proyek politik. Sekolah Rakyat adalah janji kecil yang jika dikelola sungguh-sungguh, bisa jadi titik balik bangsa ini.
Kemerdekaan sejatinya adalah kontrak sosial antara rakyat dan penguasa. Kontrak itu sederhana di mana rakyat menyerahkan legitimasi, negara menghadirkan keadilan.
Tetapi ketika keadilan hanya hadir dalam pidato, kontrak itu berubah menjadi surat utang kosong. Dan setiap kali keadilan sosial gagal diwujudkan, itu bukan sekadar catatan buruk, melainkan alarm keras: disintegrasi sedang menunggu di tikungan sejarah.
Maka, Sekolah Rakyat bukan sekadar program pendidikan alternatif. Ia adalah upaya merebut kembali hak rakyat yang telah lama dipinjamkan pada oligarki.
Ia simbol kecil bahwa bangsa ini masih punya urat nadi yang berdenyut, bahwa di balik kebisingan reformasi yang gagal, masih ada ruang bagi akal sehat untuk tumbuh.
Sejarah selalu mengajarkan: sebuah bangsa tidak runtuh karena serangan musuh luar, tetapi karena kelalaian menjaga rumah sendiri. Dan Sekolah Rakyat adalah ingatan kecil agar rumah itu tidak sepenuhnya roboh.