Medan (pewarta.co) – Putusan sidang terhadap kasus tawuran yang mengakibatkan satu korban meninggal dunia di wilayah hukum Medan Labuhan menimbulkan polemik. Muhammad Syahputra (16), yang diketahui hanya mengetahui peristiwa tersebut, divonis enam tahun penjara. Proses persidangan yang dilakukan melalui video conference antara hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinilai menimbulkan sejumlah kejanggalan dan menghasilkan putusan yang kontroversial.
Yang menjadi sorotan utama adalah putusan yang menjatuhkan hukuman yang sama terhadap Syahputra, yang bukan pelaku utama, dengan pelaku lainnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai asas keadilan dan proporsionalitas dalam penegakan hukum, khususnya terhadap anak di bawah umur. Baik kuasa hukum maupun pihak Bapas (Balai Pemasyarakatan) menyoroti ketidakadilan dalam putusan tersebut. Kuasa hukum menyatakan bahwa ini merupakan putusan pertama kalinya terhadap anak di bawah umur dengan hukuman seberat enam tahun penjara. Sementara itu, Bapas menilai putusan tersebut tidak mempertimbangkan status Syahputra sebagai anak yang masih bersekolah.
Ketidakhadiran fisik hakim dan JPU dalam persidangan menimbulkan kekhawatiran terhadap transparansi dan akuntabilitas proses peradilan. Atas dasar tersebut, kuasa hukum telah mengajukan banding atas putusan tersebut karena dianggap tidak adil dan tidak mempertimbangkan secara bijak aspek-aspek yang meringankan bagi anak di bawah umur. Kasus ini menjadi catatan penting bagi sistem peradilan anak di Indonesia, dan mendesak perlunya evaluasi menyeluruh untuk memastikan keadilan dan perlindungan bagi anak-anak yang terlibat dalam proses hukum. Transparansi, pertimbangan khusus terhadap usia dan peran anak dalam kasus, serta proporsionalitas hukuman menjadi hal krusial yang harus diperhatikan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.