Paluta (pewarta.co) – Lian Guntur, tokoh masyarakat dari Desa Rondaman Lombang, Kecamatan Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara, melalui pengacaranya tengah mempersiapkan gugatan perdata atas dugaan penyimpangan pasca penertiban kawasan Register 40 oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Gugatan ini rencananya akan didaftarkan dalam waktu dekat ke Pengadilan Negeri Padang Lawas Utara.
Menurut Lian, penertiban yang dilakukan Satgas PKH sejatinya adalah peluang besar untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat yang telah puluhan tahun menunggu implementasi putusan Mahkamah Agung No. 2642 K/Pid/2006 dan SK Menteri Kehutanan No. P-60/Menhut-II/2008 yang pro-rakyat.
“Tapi anehnya, setelah Satgas masuk dan kawasan ditertibkan, justru pengelolaan lahan diserahkan ke PT Agrinas Palma. Ini mencederai keadilan dan tidak sesuai cita-cita awal reformasi kawasan hutan,” tegas Lian belum lama ini.
Saat ini dia dipercaya sebagai Koordinator Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (OKK) Sumatera di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Macan Asia Indonesia (MAI), Lian menegaskan bahwa gugatan ini tidak dilakukan hanya untuk dirinya sendiri. Ia juga akan menggandeng elemen masyarakat yang sepaham, termasuk koperasi legal dan perwakilan masyarakat hukum adat serta lainnya.
PT Agrinas Palma Diduga dan dianggap cacat hukum, dalam rancangan gugatan yang sedang disusun tim hukumnya dari Kantor Hukum, Sakti Bintara Jaya & Rekan, Lian secara tegas menyatakan bahwa penunjukan PT Agrinas oleh pemerintah tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Agrinas, yang notabene merupakan BUMN bukan kehutanan, tidak pernah disebut dalam Putusan MA maupun SK Menhut 2008 sebagai pihak yang berwenang mengelola kawasan Register 40.
“Posisi PT Agrinas itu cacat hukum. Mereka tidak punya dasar legal, tapi kok tiba-tiba diberi lahan oleh Satgas. Padahal masyarakat yang punya sejarah perjuangan dan dokumen sah justru disingkirkan,” lanjut Lian.
Soroti Ketimpangan Plasma dan Hak Rakyat
Lian juga menyoroti tidak adanya porsi plasma atau pola kemitraan untuk masyarakat dalam skema pengelolaan pasca-penertiban. Padahal, kata Lian, inti dari kebijakan kehutanan seharusnya berbasis masyarakat adalah menghadirkan pembangunan inklusif, bukan menjadikan rakyat sebagai penonton.
“Kami tidak anti-investor. Tapi pemerintah harus adil. Jika rakyat dikesampingkan, lalu apa bedanya zaman dulu dengan sekarang?” ucapnya.
Dorong Evaluasi Keputusan Satgas PKH
Melalui gugatan perdata ini, Lian berharap sistem peradilan dapat menilai apa yang tidak adil dari keputusan Satgas PKH.
“Kami tidak hanya menuntut hak atas tanah, tapi menuntut dibenarkannya proses kebijakan agar berpihak pada rakyat,” tegasnya.
Dalam berkas gugatan yang tengah disempurnakan, disebutkan Lian nilai kerugian yang diderita rakyat akibat dari prospek penguasaan sepihak dan pungutan liar atas hasil sawit mencapai 15 triliunan.
Gugatan itu tentu akan menguji tanggung jawab PT Inhutani IV, PT Agrinas Palma, Satgas PKH, dan KLHK dalam hal pelanggaran hukum dan keadilan sosial.
“Ini bukan semata gugatan hukum, ini adalah seruan hati rakyat agar negara berpihak. Negara yang kuat adalah negara yang adil kepada rakyatnya sendiri,” pungkas Lian. (red)