Medan (Pewarta.co)-Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sumatra Utara menggelar dialog peran perempuan agen perdamaian dalam pencegahan terorisme dan radikalisme.
Dialog yang dilaksankan dengan tetap mematuhi protokol kesehatan sesuai anjuran Pemerintah secara ketat di Hotel Miyana, Jalan H Anif No. 28, Medan Estate, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deliserdang, Rabu, (29/7/2020) itu dihadiri oleh 90 peserta terdiri dari berbagai elemen masyarakat di Kota Medan dan sekitarnya.
“Dialog ini bertujuan untuk memaksimalkan peran perempuan sebagai agen perdamaian dalam pencegahan terorisme dan radikalisme,” ujar Ketua FKPT Sumut, Drs Ishaq Ibrahim MA.
Selain itu, Ketua FKPT Sumut berharap lewat dialog ini, perempuan benar-benar paham perannya sebagai agen perdamaian dalam pencegahan terorisme dan radikalisme.
“Dan harapannya lewat kegiatan ini, perempuan yang hadir dalam dialog bisa mentransfer pengetahuannya kepada keluarga dan lingkungannya masing-masing dalam pencegahan terorisme,” kata orang nomor satu di FKPT Sumut ini.
Sementara itu, Kepala Subdirektorat Pemulihan Korban Aksi Terorisme Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kolonel Roedy Widodo dalam kesempatannya menyampaikan bahwa terorisme menjadi ancaman bagi peradaban modern.
“Terorisme merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia tanpa memandang RAS dan negara. Agama hanya dijadikan sebagai alat dan kendaraan. Agama dan suku dijadikan sebagai sarana untuk melakukan tindakan, motivasinya dalam melakukan niat dan menyampaikan gagasan tentang paham radikalisme,” katanya.
Terorisme, lanjut dijelaskannya, tidak dibenarkan oleh negara, hukum dan agama apa pun.
“Kearifan lokal diyakini dapat menangkal radikalisme dan dapat dijadikan kontrol sosial. Sedangkan perempuan punya posisi yang vital dan peran strategis dalam keluarga dan masyarakat. Perempuan bisa menjadi partner diskusi di tengah keluarga bersama anak-anak dan suami. Perempuan bisa menjadi filter awal dari setiap kejanggalan dalam keluarga masing-masing. Perempuan (Ibu) berperan sebagai benteng dari pengaruh paham dan ideologi yang menyasar anak usia dini,” jelas Kolonel Roedy Widodo.
Penanggulangan terorisme, katanya, tidak bisa jika hanya dilakukan oleh aparat kepolisian, TNI, dan BNPT semata.
“Sinergi yang kuat dengan masyarakat, dalam hal ini diharapkan simpul-simpul organisasi perempuan sangat dibutuhkan untuk menjadi agen perdamaian dan bersama-sama melawan radikalisme dan terorisme,” pungkasnya seraya memaparkan akar radikalisme positif dan negatif.
Hal senada juga diungkapkan Kabid Perempuan dan Anak FKPT Aceh, Suraiya Kamaruzzaman.
Menurutnya, tren global dan tren Indonesia dalam gerakan paham radikalisme dan terorisme
atau gerakan ekstremisme di Indonesia dimulai sejak 1980 dan memiliki perkembangan dari tahun ke tahun.
“Periodisasi 1980-1992; 1993-2004; 2008-2016; dan sejak 2018 menerapkan family based terrorism,” ungkpanya.
Pergeseran ideologi di internal kelompok afiliasi dengan isis, pergeseran makna jihad di kalangan kelompok radikal dari jihad tandim (diketahui pimpinan/berdasarkan fatwa) menjadi jihad fardiah (setiap orang bisa melakukan jihad) dan jihad dhafi (defensif dari asing),” katanya.
Pada bagian akhir, FKPT dan pembicara serta peserta dialog antara lain menyepakatai rencana tindak lanjut dari kegiatan tersebut untuk mengajak keluarga, memberi pengarahan apa yang harus dilakukan; kemudian di organisasi, dalam kehidupan kita setiap manusia punya prinsip aku adalah kamu, kamu adalah aku, kita dari sumber yang sama. (rks)