Medan (Pewarta.co)-Muslim Muis meminta Komisi Yudisial (KY) memeriksa Majelis Hakim yang membebaskan koruptor makanan penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Penegasan tersebut disampikan praktisi hukum Kota Medan ini menjawab sejumlah wartawan perihal dibebaskannya dua koruptor makanan dan minuman yang diperuntukkan bagi Warga Binaan Sosial (WBS) Unit Pelayanan Tekhnis (UPT) Sicanang, Belawan.
Muslim juga mengingankan agar majelis hakim perkara tersebut, khususnya Hakim Ketua, Yusafrihardi Girsang diperiksa oleh hakim pengawas atau KY.
“Majelis hakimnya harus diperiksa hakim pengawas. Apakah benar apa ada sesuatu dalam putusan bebas tersebut ?,” tegas Muslim Muis, Rabu, (12/10/2022)..
Jika benar terbukti adanya dugaan penyuapan dalam putusan bebas itu, Muslim meminta agar majelis hakimnya dipecat dan dipidana.
“Kalau benar ada penyuapan, majelis hakimnya harus dipecat. Kalau perlu dipidana sekalian. Biar peradilan di Indonesia bersih dari korupsi,” kata Muslim.
Ditanya dugaan praktik kotor mencoreng wajah pengadilan ini tidak terlepas dari peran seseorang diduga sebagai Makelar Kasus (Markus) yang menghalang-halangi wartawan meliput putusan itu, Muslim meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cepat menindaknya.
“Kalau benar perkara korupsi ini diduga ada peran seseorang sebagai ‘Markus’, seharusnya KPK cepat menindaknya. Karena akan merugikan peradilan,” kata Muslim.
Diketahui, mantan Kepala Unit Pelayanan Teknis Pelayanan Sosial (Ka UPT Yansos) Eks Kusta pada Dinas Sosial (Dinsos) Provsu di Belidahan-Sicanang Belawan, Christina Boru Purba dan Andreas Sihite selaku mantan Direktur CV Gideon Sakti (GS) divonis bebas oleh Hakim Ketua, Yusafrihardi Girsang di Pengadilan Tipikor Medan, Senin (10/10/2022) silam.
Keduanya tidak terbukti korupsi pengadaan bahan makanan dan minuman untuk PMKS/WBS pada Dinsos Provsu di Belidahan-Sicanang Belawan pada Tahun Anggara (TA) 2018-2019 senilai Rp875,1 juta.
Kedua terdakwa tak terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Atas putusan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Aisyah langsung mengajukan kasasi.
Sebelumnya, JPU Aisyah menuntut kedua terdakwa masing-masing selama 8 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Dalam dakwaan JPU Aisyah dan Frisillia Bella, pada TA 2018, UPT Yansos Eks Kusta mendapatkan pagu anggaran Rp4 miliar lebih dan terdakwa Christina diangkat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Pada 2-16 April 2018, dilaksanakan tender kegiatan pengadaan bahan makanan dan minuman untuk WBS.
“Christina mengangkat Timbang Lumban Raja selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Kemudian, Timbang diperintahkan membuat Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan Albine Sidabutar untuk melakukan survey pasar,” ujar JPU.
Namun, karena sejak Januari 2018, telah dilakukan Penunjukan Langsung (PL), maka total Harga Perhitungan Sendiri (HPS) berubah menjadi Rp.2.708.255.056. Dengan rincian, HPS PMKS/WBS untuk lokasi di Belidahan sebesar Rp1.149.730.920 dan Sicanang Rp1.558.524.136.
Hanya 2 rekanan yang memasukkan dokumen penawaran (tender) untuk pekerjaan pengadaan itu yakni CV Bonaventhura dan CV GS yang diumumkan Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) sebagai pemenang tender, tanpa melalui permohonan verifikasi dari Christina.
“Bukan hanya pagu anggaran pengadaan makan dan minum warga binaan yang dikurangi rekanan. Di proses awal (pengadaan/tender) juga disebut-sebut sarat dengan ‘permainan’ antara Christina dan Andreas diduga kuat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,” kata Aisyah.
Walau beda nilai penawaran, namun format pengajuan tender di kedua perusahaan tersebut mirip. Bahkan, Osmar B Sihite selaku ayah kandung Andreas selain merangkap Wakil Direktur CV GS, juga menjabat Komisaris pada CV Bonaventura.
Memang ada berita acara penyerahan hasil pekerjaan kepada Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) dan permohonan pembayaran pekerjaan dari Timbang kepada Christina.
Namun, Timbang tidak melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya dikarenakan alasan sedang dalam kondisi sakit sehingga jarang masuk.
Kuat dugaan, tanda tangannya di Berita Acara Permohonan Pembayaran tersebut telah dipalsukan. “Pengadaan serupa juga berlangsung di ULP Yansos Eks Kusta di Belidahan maupun Sicanang Belawan TA 2019 dengan pagu Rp4.338.390.500. Yakni Rp2.529.450.000 di Sicanang dan Rp1.808.940.500 di Belidahan,” jelas JPU.
Sebanyak 5 perusahaan memasukkan penawaran dan CV GS kembali keluar sebagai pemenang tender. Pengadaan makanan dan minuman WBS juga dikurangi alias tidak sesuai dengan isi kontrak pekerjaan.
Kemudian, Christina mengangkat Sepri Aulia Rahman sebagai PPTK. Nuraini dan Meurah Mahrumsih kemudian diperintahkan Christina melakukan survey pasar. Sepri juga tidak melaksanakan tugasnya karena sama sekali tidak pernah diperlihatkan isi kontrak.
Demikian halnya Nuraini dan Meurah hanya melakukan survey harga pasar di Toko Marlboro dan UD Ginting di Seirampah, Kabupaten Serdangbedagai (Sergai). Sehingga ditetapkan HPS dari pedagang pasar yang data dan kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Akibat perbuatan kedua terdakwa, berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Ribkha Aretha dan Rekan, negara dirugikan Rp.875.148.401,” ucap Aisyah. (red)