Medan (Pewarta.co)-Harga-harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) terkoreksi imbas Pandemi COVID-19. Sentimen negatif terhadap situasi ekonomi membuat banyak investor panik sehingga melakukan aksi penjualan saham.
“Penjualan saham dalam jumlah besar inilah yang membuat harga-harga saham menjadi turun. Turunnya harga saham tentunya tidak terlepas dari mekanisme pasar yakni faktor supply dan demand,” kata Kepala BEI Perwakilan Medan, Pintor Nasution, Jumat (1/5/2020).
Dijelaskannya, saat terjadi over supply maka harga saham makin turun. Dalam berinvestasi, selalu ada peluang di setiap kondisi.
“Menjadi peluang baik bagi investor untuk mulai berinvestasi ketika harga-harga saham mengalami penurunan. Pasalnya, itu berarti investor bisa membeli saham pada harga yang murah,” tukasnya.
Menurutnya ketika situasi pandemi COVID-19 berakhir, dan perekonomian dunia serta Indonesia membaik, harga saham berpotensi naik kembali menuju pada harga wajar sahamnya. Atau harga buku per saham yang sesuai dengan kinerja perusahaan.
Disebutkannya, ada dua strategi berinvestasi, yakni berinvestasi secara sekaligus (lump sum), dan berinvestasi secara berkala. Secara lump sum artinya, investor membeli produk investasi secara sekaligus dalam nilai yang relatif besar. Dana investasi tersebut kemudian didiamkan sampai dicairkan pada suatu waktu. Investor tidak melakukan pembelian dalam waktu berkala.
Sedangkan pembelian berkala, dikenal dengan istilah dolar cost averaging. Investor membeli saham dengan cara melakukan pembelian secara regular, misalnya 1 bulan sekali dengan nilai yang sama secara terus menerus.
“Strategi ini mirip menabung dalam jangka panjang,” ujarnya.
Pintor menjelaskan perbedaan antara kedua strategi. Pembelian secara lump sum biasanya dengan dana yang relatif besar. Jika pada saat pembelian harga saham yang dibeli belum pada posisi terendah (bottom price), bisa jadi investor mengalami ketidaknyamanan jika nilai investasinya turun karena dana yang diinvestasikan relatif besar.
Menurutnya pembelian secara lump sum akan menguntungkan jika momennya tepat, yaitu saat harga saham dalam posisi terendah, sehingga keuntungan yang akan diperoleh relatif besar pula.
“Investasi secara lump sum baik jika dilakukan sebagai investasi jangka panjang. Karena jika sebaliknya, memiliki risiko harga saham yang tidak sesuai perkiraan hasil. Atau harga saham sedang dalam posisi turun ketika hendak merealiasikan keuntungan,” tuturnya.
Karena, sambungnya, biasanya saat investasi lump sum, akan cukup sulit menentukan titik terendah harga suatu saham jika kita belum betul-betul menguasai ilmu-ilmu penting dalam investasi.
Sementara pembelian secara berkala, memberikan kesempatan investor membeli saham dalam berbagai situasi harga saham. Jika investor ini mulai membeli saham di harga rendah tetapi belum titik terbawah, maka saat harga saham di posisi terendah dia mendapatkan kesempatan membeli saham pada harga termurah.
Dana yang dialokasikan untuk membeli secara berkala relatif kecil dan biasanya jumlahnya sama setiap periode.
Diakuinya, jika harga saham sedang tinggi, investor juga akan mendapatkan keuntungan yang lebih kecil dibanding investor lump sum yang membeli pada saat harga saham sedang murah.
Sebaliknya, investasi yang berkala membuat investor lebih aman jika hendak mencairkan investasinya sewaktu-waktu. Kalaupun saat menjual saham harga sedang turun, risiko kerugian tidak sebesar jika membeli saham secara lump sum. Investor yang membeli secara berkala memberikan kepercayaan kepada manajer investasi (pengelola dana) untuk melakukan investasi secara berkala.
Dengan demikian investor tidak akan terlalu terpengaruh emosi kenaikan dan penurunan harga saham di bursa. Investor bisa fokus pada tujuan investasinya. Apapun strategi investasi yang dipilih investor, investasi jangka panjang tetap lebih memberi potensi keuntungan yang besar.
“Nah, bagaimana mengukur suatu saham harganya sedang murah dan berpotensi mengalami kenaikan harga? Salah satu indikatornya dengan melihat pada book value atau harga buku per saham,” sebutnya.
Harga buku per saham ini bisa dilihat di laporan keuangan Perusahaan Tercatat, atau hasil riset yang dibuat analis di perusahaan efek. Jika harga saham lebih rendah dari nilai nilai buku saham perusahaan, maka bisa dikatakan harga saham tersebut murah karena di bawah harga buku atau di bawah harga wajarnya. (gusti)