Medan (Pewarta.co)-RENCANA lawatan Presiden Prabowo Subianto ke Belanda usai pidatonya dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-80 di New York dan kunjungan resmi ke Kanada bukanlah agenda biasa. Hal itu bukan sekadar persinggahan diplomatik, melainkan sebuah peristiwa yang akan menguji konsistensi Indonesia dalam menjaga martabat kedaulatan yang sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 ditegakkan dengan darah dan pengorbanan jutaan rakyat. Menteri Luar Negeri Sugiono mengumumkan bahwa Prabowo dijadwalkan bertemu Raja Willem-Alexander pada 26 September 2025. Namun, di balik jadwal resmi itu, ada tanda tanya besar, apakah Presiden Republik Indonesia akan benar-benar diperlakukan sebagai kepala negara berdaulat, atau hanya sekadar mitra dagang yang ramah tamah di negeri bekas penjajah?
Sampai hari ini, Belanda tidak pernah mengakui secara de jure kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Yang mereka akui hanya penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 lewat Konferensi Meja Bundar, itupun bukan kepada Republik Indonesia melainkan kepada Republik Indonesia Serikat. Klaim ini melahirkan tafsir kolonial yang masih dipertahankan hingga kini, bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hasil perjuangan rakyatnya, melainkan “pemberian” Belanda. Sikap itu tampak gamblang ketika Perdana Menteri Mark Rutte pada 14 Juni 2023 sempat menyatakan di parlemen bahwa Belanda “mengakui tanpa syarat” kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, namun sehari kemudian ia mengoreksi pernyataannya. Menurutnya, Belanda hanya “menerima” proklamasi itu sebagai fakta sejarah, bukan sebagai pengakuan hukum. Bahkan ia menegaskan, “kedaulatan hanya diberikan sekali, yakni kepada Federasi RIS.” Pernyataan yang mengandung aroma kolonialisme ini jelas melecehkan marwah Republik Indonesia.
Dalam teori hubungan internasional, setiap kunjungan kepala negara membawa makna simbolik tentang pengakuan kedaulatan.
Karena itu, lawatan ke Belanda tak bisa dipandang sebagai sekadar kunjungan kerja atau wisata diplomatik. Sejumlah presiden sebelumnya, mulai dari Soeharto hingga Megawati, memang pernah berkunjung ke Belanda, tetapi selalu dalam bingkai kunjungan resmi, bukan kunjungan kenegaraan. Alasan mendasarnya sederhana, dimana Belanda tidak pernah mengakui secara de jure eksistensi Republik 17 Agustus 1945. Maka pertanyaan yang kini menggantung adalah apakah Prabowo akan mengikuti pola yang sama, diterima sebagai pemimpin negara berdaulat atau hanya sekadar tamu ramah dagang.
Risiko politiknya besar. Jika Presiden RI hanya diperlakukan sebagai pengunjung tanpa status kenegaraan penuh, maka itu berarti penghinaan diplomatik terselubung. Apalagi sejarah bangsa ini tidak pernah dibangun di atas hadiah kolonial, melainkan atas perlawanan berdarah dan prinsip filosofis yang ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Mengabaikan hal ini sama artinya dengan menegasikan fondasi ideologis Republik.
Diplomasi sejatinya berdiri di atas prinsip resiprositas. Jika Belanda menolak mengakui kemerdekaan Indonesia secara de jure, Indonesia seharusnya juga berhak menegaskan posisi yang sama. Hubungan ekonomi, dagang, investasi, dan pariwisata tetap bisa berlangsung tanpa pengakuan diplomatik penuh. Indonesia sudah membuktikan hal itu dengan Israel dan Taiwan, dua entitas yang tidak diakui secara resmi, namun tetap memiliki hubungan perdagangan dan interaksi ekonomi.
Maka, lawatan ini adalah ujian besar bagi Prabowo. Apakah Prabowo akan hadir sebagai pemimpin yang teguh menjaga martabat bangsa, atau sekadar pragmatis yang rela menukar harga diri Republik dengan kesepakatan dagang jangka pendek. Dalam filsafat politik, martabat sebuah bangsa bukan sekadar soal status formal, melainkan tentang pengakuan eksistensial atas perjuangan rakyatnya. Soekarno pernah menegaskan bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas yang tidak boleh dicoreng kompromi kolonial. Jika Prabowo gagal membaca simbolisme ini, maka seluruh bangsa bisa dianggap menundukkan kepala di hadapan bekas penjajah yang menolak mengakui kedaulatan kita.
Lawatan ke Belanda tidak boleh menjadi sekadar pertemuan meja makan atau tanda tangan kontrak dagang. Ia harus menjadi momentum untuk menegaskan kembali posisi Indonesia sebagai bangsa merdeka yang tidak meminta pengakuan, melainkan menuntut penghormatan. Taruhannya bukan hanya citra Prabowo di panggung dunia, melainkan marwah kedaulatan Republik Indonesia yang tidak bisa ditawar.(Red)