Medan (Pewarta.co)-Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus tegas menegakkan etika dan moral di kampus, karena kedua hal itu merupakan benteng terakhir menjaga marwah sebuah perguruan tinggi.
”Intinya, perguruan tinggi jangan melanggar etika dan moral di kampus,” sebut Sekretaris Dewan Guru Besar Universitas Sumatera Utara Prof Tamrin, Jumat (22/1/2021), menyikapi kasus self plagiarism dilakukan rektor terpilih USU Muryanto Amin.
Tamrin saat itu didampingi beberapa anggota Dewan Guru Besar USU yakni Prof Budiman Ginting, Prof Edi Warman dan Prof Robert Sibarani.
Dia mengatakan, Dewan Guru Besar USU terus menjujung tinggi moral dan etika dalam menjalani tugas sebagai dosen.
“Ketika etika dan moral tak lagi menjadi landasan maka kehancuran akan datang. Etika dan moral sangat tinggi kedudukannya dalam dunia pendidikan,” ujarnya.
Ia menyatakan Dewan Guru Besar USU sangat mendukung rektor menegakkan etika dan moral di lingkungan perguruan tinggi negeri itu.
Budiman Ginting menambahkan, setiap profesi memiliki kode etik harus ditaati seperti wartawan memiliki kode etik, dokter begitu juga.
Jadinya, sanksi disampaikan dalam penerapan kode etik harus dapat ditegakkan sesuai dengan peraturan yang ada.
“Bukan berdasarkan dari hukum-hukum saja. Tapi, norma dan moral terutama, etika dijunjung. Ini bukan masalah hukum, ini masalah etika,” tegas Budiman.
Budiman yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum USU menyatakan menolak dilantiknya Muryanto sebagai rektor USU periode 2021-2026.
Ia beralasan, rektor terpilih itu terjerat kasus self plagiarisme yang membuat kredibilitas USU dipertanyakan.
Sementara itu, Edi Warman menjelaskan pelanggaran etik tentu berbeda dengan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum pelaku plagiat akan dijerat melalui UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sedangkan pelanggaran etik akan dijatuhi sanksi etik.
“Itulah perbedaan yang perlu diluruskan,” ujarnya.
Dijelaskannya, akan halnya pelanggaran plagiat itu tidak diatur dalam Pertaturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, itu tidak berarti yang bersangkutan tak dapat dijatuhi sanksi etik. Sebab, pengaturan tentang itu ada diatur secara khusus dalam Peraturan Kepala LIPI No. 5 Tahun 2014 Tentang Kode Etika Publikasi Ilmiah, Tanggal 18 September 2014, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1385.
Ia mengatakan kasus self-plagiarism, double publication, salami publication atau publikasi ganda adalah pelanggaran Etika Publikasi Ilmiah. Hal itu tidak hanya diakui oleh kalangan USU sendiri, tetapi juga seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia.
“Bahkan pihak kementerian pun menolak setiap usulan kenaikan pangkat para dosen yang dalam pengusulannya menggunakan artikel publikasi ganda atau double publication atau salami publication yang termasuk pada kategori self-plagiarism,” ungkapnya
Edi menjelaskan etika yang dilanggar oleh Dr Muryanto Amin, yang digunakan rektor USU sebagai dasar penjatuhan sanksi. Hal ini oleh rektor USU termasuk dalam unsur yang memberatkan, karena yang bersangkutan di samping menjabat sebagai dekan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik USU.
“Yang bersangkutan juga adalah Editor in Chief pada jurnal Politeia, pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, Publisher Talenta USU, yang seharusnya sudah faham dan mengetahui tentang seluk beluk penerbitan naskah dalam jurnal atau publikasi ilmiah,” tutur Edi.
Edi juga menjelaskan sanksi yang dijatuhkan oleh rektor USU, adalah sanksi pelanggaran etik, bukan sanksi pelanggaran hukum.
“Hukum positifnya ada dan jelas serta dipedomani oleh para pengelola jurnal dan pengarang di Indonesia, dalam hal mempublikasi tulisan,” pungkasnya. (gusti)