Oleh : Wina Armada Sukardi (Advokat dan wartawan)
Advokat di Indonesia salah satu profesi yang paling tidak dipercaya oleh stake holdersnya. Selalu dicurigai dan dimarginalkan.
Kita mulai di pengadilan. Sebelum acara di pengadilan dimulai, hakim bakal menanyakan dan memeriksa mana Berita Acara Sumpah (BAS), kartu advokat dan kartu organisasi advokat. Sekarang untuk advokat dapat beracara di pengadilan harus memiliki BAS atau pengangkatan sebagai advokat sebelum UU advokat berlaku, kalau sudah jadi advokat sebelum UU Advokat lahir. Semuanya harus diperlihatkan aslinya. Gak boleh foto copynya.
Setelah ada aslinya diperlihatkan, barulah boleh diserahkan fotocopynya.
Kenapa advokat diminta menunjukan asli keabsahannya sebagai advokat, sedangkan jaksa dan hakim sebagai sesama penegak hukum tidak? Karena advokat tidak dipercaya. Takut si advokat berbohong, sebenarnya dia belum berhak praktek beracara di pengadilan, tapi mengaku sudah jadi advokat. Kalau cuma foto copynya saja, dapat saja dipalsukan oleh advokatnya. Stigma advokat profesi tukang kibul (suka berbohong) membuat semua identitas dan kelengkapan surat sebagai advokat harus ditunjukan aslinya. Tak ada usaha bikin praktis, misal cukup mempergunakan barkot atau kode no BAS dan sebagainya. Konstruksi berpikirnya, “jangan sampai ketipu oleh advokat.”
Sedangkan jaksa yang ikut sidang yang sama, diamsumsikan sudah dipastikan benar, gak mungkin bohong. Jadi gak perlu ditanya mana surat tugasnya, apakah surat tugasnya benar atau tidak, ada kesalahan administrasinya atau tidak, sudah tidak perlu dan tidak penting ditanya. Jaksa sudah terjamin pasti benar, tidak seperti advokat yang perlu dicurigai dari awal.
Apalagi hakimnya. Siapa pula yang mau bertanya mana surat ketetapan dari ketua PN yang menunjuk majelis hakim yang mengadili suatu perkara. Kalau kemudian hakimnya diganti, mana pula bukti surat keterangan pergantiannya. Ah, hakim kan, itu yang mulia, gak perlu disangsikan lagi, malah gak boleh sampai dicek segala kemuliaannya (Kalau ada hakim yang terima suap, cuma dianggap segelintir, dan itu pun lantaran pengaruh buruk setan). Selebihnya hakim pasti orang baik. Jadi gak perlu keabsahan surat tugasnya dipersoalkan. Lain dengan advokat, dipandang sering bohong, jadi harus bener-bener dicros cek. Stigma terhadap advokat begitu.
Advokat juga profesi yang sudah biasa “dizholimi” di pengadilan. Diagendakan dan disuruh sidang pukul 10 pagi, sidangnya baru mulai jam 16.00 atau bahkan setelah magrib, advokat gak punya hak marah atau protes. Sudah dipandang lumrah tugas advokat menanti tanpa kepastian. Urusan kerugian waktu dan materil, itu sudah dianggap menjadi derita advokat. Kan advokat strata penegak hukum terendah, jadi boleh diperlakukan semaunya. Alasannya macam-macam. Hakimnya banyak perkara lain yang masih harus diperiksa. Jaksanya belum datang dan sebagainya. Bahkan barusan saja terjadi, setelah sidang ditunda dua minggu dan ditunda lagi tiga minggu, pada harinya, si hakim bilang keputusannya sedang dibuat, sementara si hakim ketua sidang sudah di ruang sidang. Entah siapa yang buat keputusannya. Advokat gak boleh protes. Gak boleh tanya-tanya kenapa begitu. Pokoknya advokat di pengadilan kasta terbawah. Jadi, kalau menerima perlakuan tak adil, ya selama ini dinilai wajar-wajar saja.
Soal keputusan juga suka-suka hakim. Sidang boleh panjang dengan menghadirkan ahli, berbagai bukti dan kesimpulan bahkan sidang berlangsung sampai sampai setahun, eh pas keputusan cukup dianggap tidak dapat diterima (NO) karena kurang pihak (biar pihak yang kurang itu sudah dihukum pidana) atau salah objek karena tulisan tidak tepat dan sebagainya. Kenapa gak dari awal saja diputusin waktu eksepsi, sehingga gak usah sampai begitu panjang, itu sepenuhnya otoritas mutlak hakim, gak peduli advokat sudah minta klien kekuar duit banyak untuk Ahli, bukti dan sebagainya. Apalagi cuma waktu advokat yang terbuang. Semua bukan tanggung jawab moral hakim, tapi “derita elo” wahai advokat.
Demikian jug kalau hakim setelah menguraikan berbagai hal dan sampai kesimpulan, eh, ternyata putusanny gak sesuai dengan uraiannya. Sudahlah advokat harus mahfum saja. Kalau gak setuju silakan naik banding.
Menurut UU Advokat, para advokat berhak medampingi klien dimana dan pada tingkat apapun, tapi di KPK advokat sama sekali tidak boleh mendampingi klain waktu diperiksa. Alasannya, korupsi itu kejahatan luar biasa. Lho, apa urusannya kejahatan luar biasa dengan menghilangkan hak advokat yang diberikan UU untuk mendampingi klain? Gak penting alasan apa atau apa hubungannya, pokoknya SOP di KPK ditetapkan gak boleh. Selesai. Soalnya kan advokat suka kasih saran yang mempersulit penyidikan. Soal kewajiban advokat membela klainnya, hari gini cuma dipandang utopia saja. Walhasil advokat juga sah kalau dicuragai bakal memberikan celah-celah hukum yang dapat menjadi penolong tersangka. Advokat itu seakan moster di sisi penjahat. Jadi gak boleh mendampingi klain di KPK. Gak ada urusan SOP dapat mengalahkan UU melanggar hukum atau tidak. Malah, konon kabarnya, Kejaksaan juga bakal menerapkan aturan yang sama dengan KPK. Kalau di KPK boleh advokat tidak dapat mendampingi klain, kenapa kejaksaan gak boleh? Soalnya advokatnya gak perlu perlu ditanya, apalagi diminta pendapatnya , lebih lagi persetujuannya. Advokat aparat penegak hukum kasta terbawah, gak perlu diperhatikan keberadaannya. Boleh diabaikan.
Advokat menurut UU Advokat, punya hak imunitas, khususnya waktu membela klainnya. Tapi dalam prakteknya, hak imunitas ini boro-boro dihormati, diakui oleh sesama aparat penegak hukum juga tidak. Memang kalau hak imunitas yang diberikan oleh UU disingkirkan, para advokat mau apa? Bisa apa?
Terkait ini tak tik dan strategi membela klain, dianggap omong kosong saja. Upaya semacam itu banyak dimaknai advokat “memghalang-halangi” atau “menghambat” penegakkan hukum. Jadi kalau advokat punya tak tik dan strategi membela klain, langsung dituding advokat melakukan kejahatan menghambat atau menghalangi penegakan hukum.
Pekerjaan advokat yang mungkin mendapat “dukungan” dari sesama aparat penegak hukum, paling jadi “markus” alias makelar kasus. Menghubungi polisi, jalsa dan atau hakim dengan klain, dan mengatur berapa biaya yang ditentukan. Itu pun masih dengan satu kecurigaan, biaya-biaya itu sudah di markup oleh advokat. Bukankah stigmanya mana ada advokat yang jujur. Itu capnya.
Aneh bin ajaibnya, para advokat pun relatif tidak ada yang “protes,” konon lagi “berontak” pada keadaan seperti ini Para advokat lebih suka mengurus dan menambah jumlah anggota organisasinya. Memang sesama organisasi advokat sedang dibiarkan saling cakar. Saat ini semakin banyak saja organisasi advokat. Mereka membuat semakin mudah menjadi advokat. Setidaknya saat ada 40 organisasi advokat, dan akan semakin banyak lagi. Makanya lantaran sibuk mempersoalkan urusan internal organisasi, advokat sulit membela sesama advokat yang sedang dikriminalkan.
Advokat, oh advokat. (Red)