PJakarta (pewarta.co) – Kepercayaan dunia pada kemampuan masyarakat dan pemerintah Indonesia menjaga perdamaian di Papua sangat tinggi.
Kepercayaan itu didasarkan pada fakta bahwa Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia yang memiliki peran besar dalam menjaga dan menegakkan perdamaian di banyak tempat di muka bumi.
“Kepercayaan masyarakat dunia pada kemampuan kita menyelesaikan persoalan di Papua dan Papua Barat sangat tinggi. Bagaimanapun juga Indonesia adalah role model yang dalam berbagai kesempatan berhasil membuktikan bahwa demokrasi adalah formulasi terbaik untuk menyelesaikan benturan kepentingan,” begitu antara lain pesan yang disampaikan dosen hubungan internasional dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Teguh Santosa, yang diterima redaksi.
Pesan Teguh itu disampaikan sebagai respon atas pernyataan Komisioner Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR) Michelle Bachelet. Menurut Teguh, pernyataan Bachelet yang disampaikan hari Rabu ini (4/9/2019) dengan tegas memperlihatkan kepercayaan itu.
Dalam pernyataannya, Bachelet mengatakan terganggu dengan peningkatan kekerasan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Indonesia, sejak Desember 2018. Kekerasan itu telah menelan korban di kalangan masyarakat sipil dan aparat keamanan.
Bachelet telah mendiskusikan persoalan ini dengan pihak otoritas di Indonesia dan mendoronga pemerintah Indonesia untuk meningkatkan dialog dengan masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan mendengarkan aspirasi mereka.
Selain itu, Bachelet juga meminta agar akses internet di kedua Provinsi itu bisa segera dipulihkan kembali.
“Saya bisa menangkap keprihatinan Bachelet dalam pernyataannya. Seperti Michele Bachelet, kita semua prihatin dan saat ini ikut berupaya memulihkan keadaan,” ujar Teguh.
Mantan Ketua bidang Luar Negeri PP Pemuda Muhammadiyah ini pernah berinteraksi dengan Komisi IV PBB yang menangani Politik Khusus dan Dekolonisasi. Pada tahun 2011 dan 2012 Teguh diundang menjadi petisioner sengketa Sahara Barat yang masuk dalam daftar non-self governing territories.
“Tidak ada Papua dalam daftar non-self governing territories dari Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (1960). Tapi upaya beberapa negara mengintervensi daftar itu dan memasukkan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Indonesia, ke dalamnya memang cukup serius,” ujar Teguh.
Mantan Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini juga mengetakan, pemerintah Indonesia harus mampu memberikan bingkai umum yang pas. Perlu ada pesan kunci yang konsisten bahwa apa yang terjadi dengan Papua dan masyarakat Papua bukanlah rasialisme atau rasisme.
Buktinya, tidak ada satu pun produk hukum di Indonesia yang menempatkan masyarakat Papua sebagai kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat lain di Indonesia.
Banyak tokoh Papua yang menempati posisi penting di lembaga eksekutif dan legislatif baik di tingkat nasional maupun lokal, juga di TNI dan di Polri.
Persoalan yang dihadapai masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat secara umum sama dengan yang dialami masyarakat di tempat-tempat lain di Indonesia, yakni ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan, mismanajemen pemerintahan, korupsi yang massif, dan sebagainya.
Teguh juga mengatakan perlu memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh Papua untuk menjadi “jurubicara” yang menjelasakan situasi di Papua dan Papua Barat.
“Layar informasi jangan didominasi wajah-wajah yang bisa memunculkan keraguan di tengah masyarakat Indonesia, warga Papua, dan juga komunitas global,” ujar Teguh lagi.
Begitu juga dengan penempatan agenda prioritas dalam rangka memulihkan keadaan. Menurutnya, di tengah situasi konflik yang tidak menentu, kehadiran pasukan keamanan dan penegak hukum tentu sangat dibutuhkan. Namun kehadiran pasukan itu semestinya tidak dijadikan tema utama.
“Saya kira akan lebih menarik apabila pemerintah mengedepankan pengiriman bahan makanan untuk mengganti yang rusak karena pasar terbakar, atau mengirim tim khusus untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak akibat kerusuhan. Juga mengirimkan tenaga medis untuk membantu rumah sakit yang barangkali terkena dampak kerusuhan. Operasi ekonomi dan kesejahteraan lebih penting dikedepankan,” kata Teguh lagi.
Kembali kepada pernyataan Michele Bachelet.
Teguh menggarisbawahi sambutan Bachelet pada pernyataan-pernyataan Presiden Joko Widodo dan pejabat tinggi lain yang mengajak pihak-pihak yang tidak puas untuk berdialog.
“Seruan Bachelet agar pemerintah melindungi wartawan, aktivis HAM dan pro demokrasi juga perlu diperhatikan,” demikian Teguh. (Red)