Oleh : Khairul Arifin, SH
BERBAGAI perbedaan pendapat kembali terjadi akhir-akhir ini terkait boleh atau tidaknya seorang perempuan menjadi pemimpin daerah. Perbedaan pendapat itu justru hadir di bumi Serambi Mekkah yang merupakan daerah syariat Islam.
Lalu, bagaimana sikap seorang muslim semestinya dalam menyikapi perbedaan pendapat terkait pemimpin perempuan tersebut?
Sebagaimana termaktub didalam Al-Qur’an surat An-nisa’ ayat 59 dijelaskan : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu, Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (An-Nisa : 59).
Dalam surat tersebut secara jelas dikatakan bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mentaatiNya dan taat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan memerintahkan mengembalikan segala permasalahan yang dipertentangkan kepada Alquran dan sunah Rasulullah SAW.
Sementara itu, dalil-dalil dalam Alquran dan Sunah menunjukkan tidak dibolehkannya seorang wanita menduduki kepemimpinan umum, seperti khalifah, kepala daerah baik itu Gubernur, Walikota, Bupati dan semacamnnya.
Lalu, bagaimana penjelasan dalam Al-Qur’an tentang pemimpin perempuan?
Kita bisa melihat langsung dari Al Qur’an surat An-nisa’ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisaa: 34).
Hukum dalam ayat ini bersifat umum dan menyeluruh yaitu bahwa kepemimpinan itu bagi orang laki-laki, baik dalam keluarganya, lebih utama lagi dalam kepemimpinan umum. Hal itu dikuatkan dengan alasan yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu keunggulan akal dan pandangan dan selainnya yang menjadi faktor penunjang kepemimpinan.
Kemudian, di dalam hadist sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.”
Tidak diragukan lagi bahwa hadits ini menunjukkan diharamkannya seorang wanita menduduki jabatan kepemimpinan tertinggi, juga sebagai kepala daerah. Karena itu semua merupakan sifat umum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan keberuntungan dan kemenangan bagi siapa yang mengangkatnya sebagai pemimpin.
Selanjutnya, di dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (21/270) disebutkan : “Para ahli fiqih sepakat bahwa diantara syarat seorang pemimpin besar adalah laki-laki. Tidak boleh kepemimpinan diserahkan kepada perempuan.
Salah satu ulama Kharismatik Aceh, Tgk H Syeikh Hasanoel Bashry yang akrab disapa Abu Mudi dalam sebuah kesempatan menegaskan bahwa perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin atau kepala daerah tidak sah karena tidak memenuhi syarat.
“Ureung Agam yang mengurus ureung inong (lelaki yang memimpin perempuan), “Arrijalun kawwamuna ‘alannisa’. Sehingga ditulis di dalam kitab, syarat menjadi pemimpin adalah lelaki yang merdeka, berakal, sehat badan dan segalanya,” tegas Abu Mudi.
Abu Mudi juga mengatakan, seorang perempuan yang maju sebagai pemimpin(kepala daerah) saja itu sudah berbuat dosa.
“Ureung inong meunyoe kageucalon ka dipeubeut desya. Perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin ka ijak peubeut desya, karena dipeubeut beut yang han sah dikerjakan. Dipileh cit le ureung nyan ureung pilih pi salah, dosa. Dilantik, ureung lantik desya. Setelah dilantik sah dia sudah jadi pemimpin, inan lom yang masalah,” ujar Abu Mudi sebagaimana isi dakwahnya yang sempat viral di berbagai media sosial.
Terlepas dari berbagai upaya pembenaran yang akhir-akhir ini dilakukan oleh kelompok tertentu untuk membenarkan perempuan memimpin suatu daerah. Namun, sebagai ummat Islam tentunya ketika yg terjadi perdebatan, maka kita hendaknya berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-hadist sebagai kunci pegangan demi keselamatan dunia dan akhirat.
Harus kita akui, di dalam sistem demokrasi maka setiap orang baik itu lelaki maupun perempuan memiliki hak dipilih dan memilih. Namun, sebagai seorang muslim yang tinggal di bumi serambi Mekkah hendaknya kita tetap menjadikan al-qur’an dan hadist sebagai acuan dalam memilih pemimpin sehingga kita dijauhkan dari murkanya Allah SWT.
Kendatipun ada perempuan yang sengaja diagung-agungkan dan dikemas pencitraannya oleh sekelompok orang agar dianggap layak menjadi pemimpin, namun tentu dia bukanlah sosok yang benar-benar hebat keteladanannya seperti Khadijah R.A dan Aisyah R.A. bahkan sejarah juga membuktikan bahwa sosok Siti Fatimah R.A. anak kesayangan nabi pun tak pernah memaksakan kehendak untuk menjadi pemimpin kala itu.
Namun mirisnya, kenapa ada sosok perempuan yang dengan ambisiusnya untuk berkuasa mencoba untuk mengobral syariat Islam untuk memenuhi syahwatnya menjadi orang nomor satu di suatu daerah, apalagi hal itu terjadi di bumi Serambi Mekkah. Sungguh ini merupakan sikap yang telah mengangkangi Al-Qur’an, As-sunah dan fatwa ulama kharismatik Aceh. (red)
Penulis adalah Alumni UIN Ar-raniry, Koordinator Gerakan Muda Peduli Kota (GMPK)