Jakarta (Pewarta.co)-Akibat ulah Dewan Pers melalui kebijakannya, ratusan ribu wartawan dan pekerja pers terancam kehilangan pekerjaan alias menganggur.
Hal tersebut terjadi akibat ulah Dewan Pers yang ngotot menerapkan aturan kewajiban verifikasi terhadap media massa.
Padahal, bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Betapa tidak, sekitar 43 ribu media cetak dan elektronik (versi Dewan Pers) yang belum terverifikasi terancam ‘dibredel’ masal oleh Dewan Pers.
Di tengah upaya keras pemerintah merangsang pelaku usaha menciptakan lapangan pekerjaan baru, Dewan Pers justeru sibuk mengeliminir eksistensi dan legitimasi perusahaan pers yang dianggap belum diverifikasi.
Ke 43 ribu media yang belum terverifikasi tersebut, selain kehilangan legitimasi juga terancam dikriminalisasi oleh Dewan Pers.
Belum lagi Penerapan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan yang mewajibkan wartawan mengikuti proses Uji Kompetensi Wartawan atau UKW kian mengancam eksistensi pers di Indonesia. Wartawan yang belum atau tidak mengikuti UKW akan dianggap illegal oleh Dewan Pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Terbukti dalam berbagai kasus aduan sengketa pers, Dewan Pers tidak segan-segan mengeluarkan rekomendasi dengan pertimbangan bahwa wartawan yang menjadi teradu belum mengikuti UKW sehingga perkara yang diadukan dapat diteruskan ke pihak kepolisian dengan pasal pidana umum.
Fakta ini jelas menegaskan bahwa Undang-Undang Pers seolah-olah tidak berlaku bagi sekitar 43 ribu media yang belum terverifikasi Dewan Pers.
Kondisi ini tak ubahnya dengan pembredelan masal model baru versi Dewan Pers.
Padahal, sesungguhnya kebijakan verifikasi media yang dilakukan Dewan Pers telah melanggar dan menyimpang dari aturannya sendiri yakni Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers. Pada poin ke 17 peraturan tersebut, berbunyi : “Perusahaan Pers media cetak diverifikasi oleh organisasi perusahaan pers dan perusahaan pers media penyiaran diverifikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Sangat jelas dan terang benderang bahwa aturan Dewan Pers tersebut menyebutkan tugas verifikasi adalah kewenangan Organisasi Pers dalam hal ini Organisasi Perusahaan Pers, tapi pada kenyataannya Dewan Pers secara sepihak mengambil alih peran tersebut.
Masih sulit dilupakan, pembredelan terhadap media massa di era orde baru merupakan sejarah kelam dunia pers tanah air.
Departemen Penerangan Republik Indonesia di jaman itu tak jarang membredel media massa yang pemberitaannya dianggap kerap menyudutkan pemerintah.
Majalah Tempo, Harian Sinar Harapan, Harian The Jakarta Times, Tabloid Detik, Harian KAMI, Harian Indonesia Raya, Harian Abadi, Harian Wenang, Harian Pedoman, Majalah Ekspres, Harian Pemuda Indonesia, dan Tabloid Monitor, Harian Nusantara & Harian Suluh Berita (terbitan Surabaya), dan Harian Mahasiswa Indonesia (terbitan Bandung) adalah sederetan media cetak yang mengalami nasib dibredel pemerintah orde baru ketika itu.
Dan kini kesewenangan di Era Orde Baru itu pun muncul kembali dalam versi baru yakni Dewan Pers.
Terlepas dari segala kontroversi peraturan Dewan Pers yang berpotensi menciptakan pembredelan dan pengangguran masal, ada hal yang jauh lebih penting lagi yang patut diperhatikan oleh insan pers tanah air, yakni potensi belanja iklan nasional, karena berdampak sangat luas terhadap keberlangsungan pers Indonesia.
Berbicara potensi belanja iklan nasional tentunya tak terlepas dari ruang lingkup operasional perusahaan pers.
Tak bisa dipungkiri bahwa ada 43 ribuan media yang merupakan perusahaan pers berbadan hukum Indonesia yang merupakan bagian dari upaya menggerakan perekonomian nasional.
Dari operasional puluhan ribu perusahaan pers ini telah berhasil menyerap lapangan pekerjaan yang tak kurang dari 200 ribuan wartawan dan pekerja pers.
Dengan asumsi, masing-masing media mempekerjakan minimal 5 orang atau lebih wartawan dan pekerja pers.
Namun sayangnya, puluhan ribu media massa tersebut di atas, tidak ikut menikmati belanja iklan nasional yang mencapai angka lebih dari 100 triliun rupiah per tahun.
Berdasarkan data dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) bahwa belanja iklan media di Indonesia sepanjang tahun 2012 mencapai angka Rp 107 triliun.
Dan pada Tahun 2013 menyentuh Rp147 triliun. Sedangkan tahun 2014 belanja iklan melonjak sampai Rp155 triliun. Kemudian menurun pada 2015 sebesar Rp118 triliun.
Sementara perusahaan riset Nielsen Indonesia pada tahun 2016 mencatat belanja iklan di televisi dan media cetak mencapai Rp 134,8 triliun dan tahun 2017 mencapai Rp 145 triliun.
Dari total jumlah belanja iklan nasional yang mencapai angka fantastis di atas Rp 100 triliun tersebut, sebagian besar dikuasai oleh media TV sekitar 80 persen dan sisanya dibagi-bagi oleh media cetak, radio, dan media online.
Jika seluruh kekuatan pers Indonesia bersatu memperjuangkan pemerataan penyaluran belanja iklan nasional ke seluruh daerah dan tidak terkonsentrasi atau terpusat di Jakarta, maka dapat dipastikan puluhan ribu perusahaan pers akan hidup dan berkembang pesat.
Ujung-ujungnya kesejahteraan wartawan akan semakin meningkat dan pada gilirannya berdampak sangat positif terhadap peningkatan profesionalisme dan independensi pers.
Pemerintah harus didesak membuat satu regulasi kepada perusahaan raksa nasional yang menganggarkan belanja iklan agar dapat menyalurkan sebagian belanja iklannya ke masing-masing cabang perusahaan di daerah.
Dengan asumsi Rp 1 triliun saja belanja iklan disalurkan ke media-media lokal maka dampaknya akan sangat menggerakan roda perekonomian di daerah.
Semua ini tentunya membutuhkan keterbukaan dan kesediaan pemerintah untuk mengakomodir aspirasi dan nasib dari puluhan ribu perusahaan pers yang membutuhkan belanja iklan untuk menutupi biaya operasional perusahaan pers yang telah berjasa menciptakan lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran. (red/net)