Jakarta (Pewarta.co)-Menteri BUMN Erick Thohir resmi merombak direksi PT Pertamina (Persero). Posisi Direktur Utama yang sebelumnya diemban Nicke Widyawati, kini diserahkan kepada Simon Aloysius Mantiri, pria asal Tomohon, Sulawesi Utara yang dikenal sudah puluhan tahun ikut Presiden Prabowo Subianto.
Dengan perombakan tersebut, berarti tak lama lagi, Menteri BUMN juga akan melakukan perombakan di tubuh BUMN lainnya, termasuk Direksi PT PLN (Persero). Apalagi menurut informasi, SK Darmawan Prasodjo sebagai Dirut PLN, akan habis pada Desember 2024 mendatang.
Lantas, siapa pengganti pria yang biasa disapa Darmo itu?.
Beberapa sumber yang layak dipercaya, politisi PDI Perjuangan asal Yogyakarta itu kabarnya saat ini mulai kasak kusuk mencari peluang dan dukungan untuk tetap mempertahankan posisi Dirut PLN. Apalagi ambisinya untuk duduk di Kabinet baik Menteri atau Wamen, sudah kandas.
Koordinator Nasional Relawan Listrik Untuk Negeri (Re-LUN) Teuku Yudhistira berpandangan, saat ini PLN sangat membutuhkan penyegaran. Tujuannya jelas, agar performanya di era kepemimpinan Presiden Prabowo, PLN sebagai satu-satunya perusahaan dalam negeri yang mengurusi kelistrikan di Indonesia, bisa lebih baik.
“Siapapun nanti yang ditunjuk, tentu itu hak prerogatif Presiden Prabowo melalui Menteri BUMN Erick Thohir. Tapi tentu harapannya harus ada penyegaran. Cukuplah Darmo memimpin 3 tahun di PLN, toh internal PLN sangat paham bagaimana track record sejauh ini,” tegas Yudhistira di Jakarta, Rabu (6/12/2024).
Yudhis juga menyampaikan, dari hasil penelusuran Re-LUN, selama kepemimpinan Darmo, Nepotisme atas nama ‘pro hire’ (Profesional Hire) di tubuh PLN juga sangat mencolok
“Memang tidak ada larangan merekrut pejabat pro hire dan itu hal umum di sebuah koorporasi. Lantas orang yang bagaimana yang pantas direkrut? Bagaimana integritas, kredibilitas dan latar belakangnya? Tentunya yang direkrut itu sosok yang mumpuni sesuai kebutuhan PLN. Bukan sebaliknya malah mengedepankan nepotisme, atau mengutamakan kalangan keluarga atau koleganya yang ditempatkan di posisi ‘basah’ sekalipun tidak mampu bekerja,” tegasnya.
Salah satu sosok pejabat dari pro hire yang kini menjadi sorotan adalah berinisial PAS yang saat ini menduduki posisi Executive Vice President (EVP) di PLN.
“Ini orang masih berusia 30 tahun, sudah dapat posisi EVP PLN setingkat Kadiv di Kepolisian RI, padahal kalau pegawai PLN murni paling cepat menduduki jabatan tersebut di atas usia 40 tahun, informasinya dia terima gaji di atas 70 juta, belum lagi fasilitas dari PLN yang berhak diterimanya, tapi bagaimana kinerjanya, bisa kerja gak? Coba tanya pegawai di jajarannya,” sesal Yudhis.
“Dan informasinya orang ini keponakan dari istri petinggi PLN. Bayangkan, bagaimana perasaan pegawai PLN yang berkarir dari bawah yang belum tentu bisa menempati posisi EVP. Tapi ini orang dengan mudahnya dapat posisi itu. Apa butuh PLN dengan orang seperti ini meski pengangkatan pejabat pro hire sah-sah saja,” imbuhnya.
Kemudian, lanjut Yudhis, menempatkan orang-orang yang tidak layak, apalagi sampai melanggar Peraturan Direksi (Perdir), merupakan kesalahan fatal sebuah organisasi.
“Misalnya kami dengar ada Vice President (VP) Administrasi Pengadaan Hukum berinisial IV. Jadi pejabat pengadaan tapi diduga tidak memiliki sertifikasi pengadaan. Ini jelas melanggar Perdir No 18 tahun 2023 tentang pengadaan barang/jasa di PLN yang isinya wajib memiliki sertifikasi pengadaan barang/jasa,” beber pria asal Kota Medan ini.
Dan pro hire lain yang harusnya mendapat sorotan, lanjut Yudhis adalah salah satu VP di Divisi TCO berinisial SA. Ia merupakan seorang penulis yang dijadikan Dirut sebagai penyusun naskah pidato.
“Di kalangan pegawai PLN, orang ini santer terdengar terkenal arogan memaksa untuk mendapatkan pelayanan sama seperti yang Dirut dapatkan. Contohnya seperti fasilitas perjalanan dinas, fasilitas komunikasi, fasilitas kendaraan dinas, dan lain-lain yang tidak sesuai dengan jabatannya,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, sambung Yudhis, pro hire satu ini disebut-sebut memiliki hobi membuat proposal permintaan dana ke PLN yang selalu disetujui oleh Corsec atau Sekper PLN yang disinyalir teman dekatnya.
“Diduga, modus pengerukan anggaran PLN yang dilakukan SA ini dengan pengajuan proposal ke PLN yang nilainya cukup fantastis. Artinya, jika ini dibiarkan, berarti Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) dan 4 No’s yang digaungkan PLN hanya slogan belaka,” tandasnya.
Menurut Yudhis, sebenarnya berbagai masalah termasuk menyangkut pidana lewat praktik KKN, masih banyak yang bisa diungkap selama kepemimpinan rezim Darmawan Prasodjo.
“Harapannya tentu ini juga bisa menjadi masukan dan pertimbangan Presiden Prabowo dan Menteri BUMN Erick Thohir untuk memilih sosok Dirut PLN ke depan. Satu hal lagi, apa yang kami temukan ini hendaknya bisa menjadi masukan bagi BPK, KPK, Kejaksaan Agung dan Direktorat Tipikor Bareskrim Polri untuk turun tangan melakukan audit secara detail penyelidikan. Apalagi kita sangat tau bagaimana komitmen Presiden Prabowo dalam memberantas segala bentuk korupsi di tanah air,” pungkasnya.(ril)