Medan (Pewarta.co)-Buku tentang Surat surat Aceh Mekkah ini, menurut saya sungguh menarik. Mengingatkan saya dengan kegiatan kakek cicit saya, KH Raden Asnawi Kudus (1861-1959) ketika beliau mukim di Mekah antara tahun 1893 – 1918.
Meski KH Raden Asnawi ketika mukim di Makkah pernah menjadi ‘Syaikh’ (pembimbing haji, sekarang disebut muthawwif) saya tidak pernah menemukan dokumen dalam bentuk surat menyurat yang berhubungan tentang itu.
Sebab dalam praktiknya, KH Raden Asnawi hanya berhubungan secara langsung dengan agen-agen yang memberangkatkan haji di kota Makkah.
Agen-agen yang memberangkatkan jamaah calon haji biasanya orang Arab sendiri meski ada juga orang Jawa yang mukim di kota Makkah, seperti Syaikh Hamid Manan Kudus yang juga sahabat KH Raden Asnawi.
Membaca buku ini, menurut saya surat menyurat antara Makkah-Aceh menunjukkan cara kerja sama yang sangat baik antara orang Makkah dengan orang Aceh dalam hal penyelenggaraan ibadah haji.
Hubungan keduanya bisa mempermudah bagi umat Islam Indonesia yang akan menunaikan ibadah haji.
Menilik dari surat dan bahasa yang digunakan, saya menilai bahwa masyarakat Aceh sudah memiliki kemampuan berbahasa Arab dan memahami kandungan maksudnya secara mendalam, mengingat surat pertama menjelaskan tentang rencana perjalanan dan pembiayaan.
Sedang surat yang kedua berbentuk pamflet atau brosur yang menawarkan pemberangkatan haji dan rincian biayanya.
Ada dua judul dalam buku Surat-surat Aceh-Makkah yang sangat menarik bagi saya, sebab berisi tentang surat menyurat yang berkaitan dengan kegiatan perjalanan umat Islam Aceh ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Judul tersebut berbunyi ; Berlayar ke Tanah Arab dan Ongkos Berangkat Haji. Surat menyurat tersebut terjadi pada antara tahun 1844-1849 TU.
Saya tertarik untuk mengomentari kedua tulisan tersebut sebab ada dugaan.
Kedua surat tersebut semuanya bertuliskan dengan huruf Arab dengan khat khufi, tsulus, dan naskhi serta berbahasa Arab.
Judul yang pertama, Berlayar ke Tanah Arab (1844 TU) bersisi tentang penawaran kemudahan transportasi kapal laut bagi jamaah calon haji kaum muslim Aceh.
Surat tersebut dikirim oleh Umar bin Salim bin Shalih Ba-Qadhi ditujukan kepada kaum muslimin, para nakhoda, dan segenap kaum muslimin yang membacanya. Boleh dikata bahwa surat tersebut bagaikan iklan.
Judul kedua (1849 TU) berisi tentang harga yang ditawarkan untuk naik kapal dari Aceh menuju ke Makkah.
Surat tersebut ditujukan kepada seorang nakhoda bernama Ba-Hanan yang menjabat sebagai wakil Sultan al-Muadhdham dan Haji Muhammad Said.
Surat tersebut dikirim oleh Kepala Negeri Samalanga. Surat tersebut berisi tentang harga ongkos naik haji yang diterangkan bagi laki-laki dewasa 17 Riyal, wanita dewasa 22 Riyal, dan anak-anak serta pembantunya 2,5 Riyal.
Dikisahkan oleh ibu dan kakek saya, bahwa selama mukim di Makkah kegiatan KH Raden Asnawi Kudus adalah belajar dan mengajar di masjidil Haram serta berprofesi sebagai ‘Syaikh’, pembimbing haji bagi orang-orang Indonesia pada saat menjelang musim haji. KH. Raden Asnawi Kudus tidak sendirian.
Banyak kawan-kawannya yang juga berprofesi sebagai syaikh (pembimbing haji). Diantara kawan akrabnya adalah Syaikh Hamid Manan Kudus.
Sebagai Syaikh, di Makkah beliau memberikan pengajian yang berkaitan dengan cara-cara atau kaifiyah tentang pelaksanaan ibadah haji (Manasik) sampai pembimbingan pelaksanaannya di hari haji.
Pada saat awal di Makkah beliau bermukim di rumah Syaikh Hamid Manan Kudus dan setelah menikah dengan Nyai Hamdanah (janda Syaikh Nawawi al-Bantani) pada tahun 1897 TU beliau mukim di rumah sendiri di kampung Syamiyah, Makkah.
Biasanya, 4-6 bulan sebelum datangnya bulan haji, KH. Raden Asnawi Kudus sudah dihubungi oleh agen-agen haji di Indonesia yang ada di Makkah maupun di Indonesia.
Agen-agen ini lah yang akan menyalurkan beberapa jamaah calon haji yang ditampungnya untuk menjadi bimbingan para syaikh. Setiba di Makkah, para jamaah calon haji dari Indonesia akan dikenalkan dengan para syaikh, termasuk KH Raden Asnawi, dan pelaksanaan pembibingan atau manasiknya berada di Masjidil Haram. Dengan memberikan bimbingan manasik haji tersebut para syaikh akan memperoleh upah sesuai yang distandarkan oleh para agen.
Para jamaah calon haji yang berasal dari Kudus, pada saat KH Raden Asnawi Kudus pulang ke tanah air dan tidak kembali mukim di Makkah, akan bertemu dan berkumpul kembali dengan KH Raden Asnawi Kudus.
Sebagian mereka ada yang kemudian ada yang diajak bergabung kedalam organisasi SI dan NU. Mengingat KH Raden Asnawi termasuk pendiri dan penggerak NU.
Di Kudus, KH Raden Asnawi menduduki jabatan sebagai penasihat SI, sedang ketika di Makkah menjabat sebagai komisariat Serikat Islam.
Buku yang diterbitkan MAPESA yang berjudul surat-surat Makkah-Aceh menurut saya ini sangat besar manfaatnya.
Sebab pembaca menjadi mengerti dan memahami, betapa komunikasi antara kedua bangsa tersebut sudah pernah dilakukan dengan sangat intens dan saya sangat mengapresiasi atas terbitnya buku tersebut.
Tentunya saya berharap, Insya allah, niat mulia mensosialisasikan kembali aksara arab/jawi khususnya di Aceh dan secara umum di kalangan luas masyarakat bisa terwujud.