Parapat (Pewarta.co)-Sebanyak tujuh perwakilan Komunitas Masyarakat Adat dari Tano Batak didampingi KSPPM dan AMAN Tano Batak melakukan pertemuan dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar di Hotel KHAS Parapat.
Pertemuan yang digagas langsung oleh Menteri KLHK ini juga dihadiri jajaran eselon I dan beberapa Direktur di instansi KLHK.
Siti Nurbaya membuka diskusi dengan menjelaskan bahwa sejak tahun 2016 KLHK sudah mempelajari berbagai konflik agraria yang terjadi di Danau Toba.
“Proses penyelesaian konflik yang dialami masyarakat adat ini memang tidak mudah karena harus melibatkan banyak pihak, sehingga harus benar-benar dipelajari, dan dalam pertemuan ini kami semua yang ada di sini hanya akan mendengarkan apa yang dialami dan diharapkan oleh masyarakat adat, sehingga segera bisa dilakukan berbabai upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi,” jelas Siti Nurbaya.
Delima silalahi, Direktur KSPPM, menyampaikan terimakasih kepada Siti Nurbaya beserta seluruh jajaran KLHK yang memberikan ruang bagi masyarakat adat dan masyarakat sipil menyampaikan secara langsung persoalan yang dihadapi dalam 30 tahun terakhir di Tano Batak terkait dengan konflik agraria, dampaknya terhadap masyarakat adat dan kerusakan lingkungan.
“Hadir dalam pertemuan ini, perwakilan 23 komunitas masyarakat adat yang sedang menghadapi konflik agraria, yang disebabkan oleh adanya klaim Kawasan Hutan Negara di wilayah adat mereka. Ada yang berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), ada yang bersinggungan dengan Proyek strategis Nasional Pariwisata dan juga Program Food Estate,” terang Delima Silalahi.
Delima juga menjelaskan bahwa sejak tahun 2016, beberapa kali bertemu Ibu Siti Nurbaya dan jajarannya di KLHK, selalu merespon dengan baik pengaduan masyarakat adat di Toba, dan memberi harapan bagi masyarakat adat di Toba bahwa wilayah adat mereka akan terbebas dan akan kembali ke masyarakat adat. Sayangnya harapan itu memudar ketika di lapangan, konflik tak kunjung selesai malah terus bertambah dari waktu ke waktu. PT Toba Pulp Lestari tiada henti melakukan operasional di wilayah adat yang menimbulkan banyak konflik di wilayah konsesi, melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
“Kami sangat berharap ada hasil dari pertemuan ini, ada upaya serius penyelesaian konflik masyarakat adat dan pengembalian wilayah adat kepada masyarakat adat. Respon yang baik dari KLHK juga kami rasakan dengan telah terbitnya SK Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta pada akhir tahun 2020 lalu. Untuk itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bu Siti Nurbaya dan semua tim di KLHK, walaupun SK tersebut juga sampai saat ini menyisakan berbagai polemic yang juga pasti bisa diselesaikan dengan baik,” tambah Delima.
Senada dengan Delima, Roganda Simanjuntak (Ketua BPH AMAN TB) juga menyampaikan apresiasi kepada Siti yang telah mengajak masyarakat berdiskusi.
“Namun kami berharap perjumpaan kali ini akan menemukan formula baru untuk menyelEsaikan konflik di Tano Batak. Paling tidak kami meminta kepada Ibu Menteri Siti Nurbaya Bakar segera mencabut izin konsesi PT TPL. Kehadiran PT TPL menimbulkan banyak konflik dan kekerasan di Tano Batak,” kata Roganda.
Kasus kriminalisasi yang dialami Masyaarkat Adat Natumingka pada Bulan Mei 2021 lalu juga dijelaskan dengan gamblang oleh Natal Simanjuntak, yang hadir mewakili MA Natumingka.
“TPL melakukan kekerasan di wilayah adat kami yang menyebabkan ada dua belas orang anggota komunitas yang terluka dan berdarah-darah, makan leluhur kami diobrak abrik dan tanaman kami di rusak. TPL sudah banyak menimbulkan penderitaan buat kami. Kami meminta perusahaan itu ditutup,” katanya.
Arnold Lumbanbatu, perwakilan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta menjelaskan bahwa pada 2016 yang lalu perwakilan masyarakat telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ibu Siti Nurbaya di istana negara.
“Dalam pertemuan tersebut Bapak Jokowi memberikan SK Pencadangan Hutan adat kami dengan mengeluarkan dari konsesi PT TPL seluas 5172 hektar. Pak Jokowi juga berpesan agar kami tidak mengubah fungsi Hutan Kemenyan dan itu kami lakukan sampai sekarang. Namun tahun 2020 yang lalu SK Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta terbit hanya seluas 2393 hektar . Hal ini menyebabkan masalah baru bagi masyarakat, karena tuntutan kami tidak sesuai dengan hasil yang kami terima ” jelas Arnold.
Dia berharap, SK Hutan Adat yang mereka terima ditinjau ulang sesuai dengan permintaan masyarakat, karena yang tidak masuk dalam SK Hutan Adat tersebut sampai saat ini masih hutan kemenyan yang mereka lestarikan.
Eva Junita Lumban Gaol, mewakili, masyarakat adat Pargamanan-Bintang Maria juga menyampaikan keberadaan PT TPL di wilayah adat mereka yang telah menimbulkan konflik horizontal sesama masyarakat.
“PT TPL membuat rusak hubungan keluarga, abang-adik tidak saling sapa akibat pecah belah yang dilakukan PT TPL. Bukan hanya itu, keberadaan konsesi di hutan kemenyan kami juga berdampak pada menurunnya sumber ekonomi masyarakat karena telah banyak pohon kemenyan kami ditebang oleh perusahaan, tanaman-tanaman kami banyak dirusak oleh binatang yang kehilangan tempat di hutan yang dirusak,” tuturnya.
Eva juga menambahkan, belum selesai konflik kami dengan PT TPL, baru-baru ini wilayah adat kami telah ditunjuk sebagai area pengembangan Food Estate.
“Hal ini membuat kekawatiran bagi masyarakat, karena lokasi yang ditunjuk tersebut adalah Hutan Kemenyan dan Hutan alam. Kami tidak bisa bayangkan jika Hutan kami rusak maka kehidupan kami tentu akan terancam, padahal saat ini hutan di Pargamanan-Bintang Maria adalah benteng terakhir hutan alam di Tapanuli,” katanya.
Senada dengan Eva Junita Lumban Gaol, Jaspayer Simanjuntak perwakilan masyarakat adat Ompu Bolus dan Ompu Ronggur Simanjuntak menyampaikan, kehadiran PT TPL di wilayah adat mereka telah menyebabkan banyak dampak buruk.
“Namun kali ini saya hanya akan menyampaikan dua hal yang perlu mendapatkan penanganan serius. Pertama, keberadaan Konsesi Perusahaan di Hutan adat kami telah menimbulkan pencemaran terhadap sumber air masyarakat, bukan hanya masyarakat Sipahutar tapi masyarakat Siborong borong. Kedua, PT TPL juga sengaja menciptakan konflik sesama masyarakat dengan membentuk Kelompok Tani Hutan di luar masyarakat adat Ompu Bolus dan Ompu Ronggur Simanjuntak,” jelas Jaspayer.
Terkait kriminalisasi yang banyak dialami oleh masyarakat adat, Mangitua Ambarita mengisahkan dampak buruk kehadiran PT TPL di wilayah adat mereka di Sihaporas.
“PT TPL sering melakukan tindakan kriminalisasi terhadap warga, seperti yang pernah saya alami di Sihaporas, akibat perjuangan yang kami lakukan, akhirnya berujung pada kriminalisasi,“ katanya.
Melihat banyaknya persoalan yang ditimbulkan oleh PT TPL di Tano Batak, Tumpak Manalu perwakilan masyarakat adat Tor Nauli juga meminta supaya Menteri segera mencabut ijin PT TPL dari Tano Batak.
“Kemenyan yang menjadi tanaman kehidupan kami dirusak, dihancurkan dan kami selalu diintimidasi. Tolonglah bu Menteri mencabut izin TPL di wilayah adat kami,” katanya.
Tidak hanya yang berkonflik dengan PT TPL, dalam pertemuan ini juga dihadiri Rasmi Sinaga perwakilan Masyarakat Adat Sigapiton yang wilayah adatnya diklaim sebagai kawasan hutan negara dan akan dijadikan daerah tujuan wisata internasional yang dikelola oleh Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba atau yang biasa disebut warga dengan BPODT.
Rasmi Sinaga menyebutkan bahwa kehadiran BPODT juga telah menimbukan konflik horizontal di tengah masyarakat.
Sebagian besar wilayah adat mereka diklaim masuk dalam kawasan hutan negara, sehingga pemerintah dalam hal ini BPODT dengan sesuka hatinya mendirikan bangunan di desa mereka tanpa pernah melibatkan masyarakat adat.
“Tanah kami bu katanya hanya 80 hektar yang bukan hutan, sementara kami ada 114 KK, anak-anak kami sudah banyak yang pulang kampung karena COVID, kemanalah mereka nantinya bu, jika semua tanah kami masuk di hutan. Tolonglah ibu tanah kami dikembalikan, kami tidak menolak pembangunan bu, tapi kami mau tanah kami dikembalikan,” pinta Rasmi Sinaga.
Rocky Pasaribu, Koordinator Studi Advokasi KSPPM, juga menyampaikan beberapa hal terkait dengan hasil investigasi yang dilakukan KSPPM dengan beberapa jaringan seperti AMAN Tano Batak dan JIKALAHARI di mana ada dugaan pelanggaran perizinan yang dilakukan oleh PT TPL di wilayah konsesi. Seperti adanya konsesi PT TPL di Areal Penggunaan Lain (APL), adanya bekas bukaan baru PT TPL di hutan alam, dan beberapa temuan lain yang akan disampaikan ke KLHK dalam waktu dekat.
“Setelah kami kaji itu semua melanggar aturan yang berlaku”, tegas Rocky.
Menyikapi apa yang disampaikan oleh Rocky Pasaribu, Menteri Siti Nurbaya Bakar menyatakkan bahwa hal itu sudah menyalahi aturan, hal tersebut tidak diperbolehkan dan beliau meminta Dirjen terkait segera menindaklanjuti hasil investigasi tersebut.
Menanggapi permintaan masyarakat, Siti Nurbaya Bakar meminta maaf atas proses penyelesaian yang lambat sehingga masyarakat menunggu lama.
“KLHK harus bekerja sesuai prosedur hukum yang berlaku dan melibatkan banyak pihak. Namun KLHK sudah menyusun beberapa langkah, yang pertama melakukan evaluasi terhadap semua, termasuk keberadaan TPL dan juga yang lainnya seperti Food Estate. Kedua, Presiden dan KLHK sangat memperhatikan terkait dengan menjaga kelestarian hutan alam. Ketiga, melakukan penangan khusus terkait penyelesaian konflik di Toba dan Kalimantan Tengah supaya cepat selesai dan menjadi model penyelesaian konflik untuk daerah lain. Sehingga ke depan KLHK, KSPPM dan AMAN perlu duduk bersama bersinergi untuk membicarakan model penyelesaian yang saya sampaikan tadi,” paparnya.
TPL, katanya, dalam kaitan dengan pengrusakan lingkungan, limbah dan lainnya, KLHK akan segera melakukan evaluasi khusus, termasuk kinerja dan soal penebangan hutan alam sudah tidak boleh segera dicheck oleh Sekjen.
“Hal yang sama dengan persoalan Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta dalam proses evaluasi dan akan kita selesaikan. Kita akan check lagi data-datanya, administrasinya sehingga bisa diselesakan segera,” imbuhnya lagi.
Siti Nurbaya juga mengingatkan kepada tim yang dari KLHK agar benar-benar memperhatikan tidak adanya konflik horizontal yang ditimbulkan oleh kehadiran kelompok-kelompok lain yang bersinggungan dengan masyarakat adat. Menurutnya ekosistem yang ideal termasuk didalamnya soal harmonisasi, kerekatan, dan sistem kekerabatan tidak boleh terganggu.
Sepulang dari kunjungan dari Tano Batak, Siti mengatakan segera melakukan banyak tugas yang diawali dengan evaluasi atau preliminary audit dan juga hal spesifik lainnya yang disampaikan oleh masyarakat adat, KSPPM dan AMAN tano Batak.
Di akhir pertemuan Eva Junita Lumban Gaol, dan Mangitua Ambarita menyampaikan secara resmi dokumen berisi tuntutan sebagai berikut;
1. Melepaskan wilayah masyarakat adat Batak dari Klaim Kawasan Hutan Negara, Konsesi PT TPL, Hak Pengeloaan (HPL) BPODT dan Area Pengembangan Food Estate, selanjutnya untuk diakui menjadi milik masyarakat adat
2. Mencabut Ijin Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT TPL
3. Meninjau ulang kebijakan Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food Estate.
4. Melakukan Program penghijauan di Pusuk Buhit dengan melakukan penanaman buah buahan khas Tano Batak sehingga berfungsi ekologis
Delima Silalahi juga menyerahkan kepada Siti Nurbaya dokumen pengaduan dari masyarakat Desa Parbulu, Kecamatan Parmaksian terkait dengan dugaan adanya pencemaran lingkungan yang diakibatkan aktivitas pembibitan PT TPL di wilayah adat mereka. (ril)