Medan (Pewarta.co) – Bagi sebagian orang, sampah adalah benda terbuang yang manfaatnya cukup sampai di situ. Namun, Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) mampu memanfaatkan dan mengubah sampah sehingga membawa kebahagiaan bagi masyarakat yang membutuhkan pulsa.
Indosat Ooredoo Hutchison memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk membeli pulsa IM3 atau Tri
dengan menukarkan botol plastik bekas yang dianggap sebagai sampah dan dibuang begitu saja.
Program bertajuk Sampah Jadi Pulsa dilakukan Indosat Ooredoo Hutchison
berkolaborasi dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor dan Mall BTM Bogor.
Kolaborasi itu untuk berbagi misi bersama dalam melestarikan lingkungan secara berkelanjutan menggunakan solusi teknologi inovatif.
Pada program ini, IOH memberikan layanan berupa penukaran botol plastik bekas dengan pulsa IM3 maupun Tri melalui Reverse Vending Machine (RVM) Plasticpay yang ditempatkan di Mall BTM Bogor.
Sampah Jadi Pulsa merupakan salah satu program CSR Indosat Ooredoo Hutchison di dalam pilar lingkungan yang bertujuan untuk mendukung program pemerintah dalam mengurangi limbah botol plastik, serta menjaga kelestarian alam dengan pemanfaatan teknologi digital.
Peluncuran program Sampah Jadi Pulsa ini, dilakukan pada 24 Juni 2022 lalu oleh Wali Kota Bogor Bima Arya bersama Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bogor Deni Wismanto, Direktur Mall BTM Bogor Samuel Koshan, dan President Director and CEO Indosat Ooredoo Hutchison, Vikram Sinha.
Vikram menuturkan, peluncuran program itu merupakan langkah awal untuk menyebarkan gerakan melestarikan lingkungan secara berkelanjutan sambil memberdayakan masyarakat untuk mendaur ulang sampah menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.
Indosat Ooredoo Hutchison
menyatakan akan terus melanjutkan kerja sama strategis dengan mitra lokal maupun global untuk menjalankan misinya dalam memberikan pengalaman digital kelas dunia, menghubungkan, dan memberdayakan masyarakat Indonesia.
Wali Kota Bogor, Bima Arya, berkesempatan mencoba langsung proses memasukkan botol plastik bekas ke dalam RVM dan menukarkannya dengan pulsa IM3 maupun Tri, dipandu CEO Plasticpay, Suhendra Setiadi.
Plasticpay adalah gerakan sosial berbasis platform digital, yang mengajak masyarakat untuk mengubah sampah botol plastik yang merusak lingkungan menjadi produk yang bermanfaat, bernilai lebih, dan membawa kebaikan. Teknologi digital memang dapat membawa kemajuan bagi peradaban manusia dan pelestarian lingkungan hidup.
Menurut Bima Arya, program ini dapat mendukung Pemerintah Kota Bogor dalam mengurangi tumpukan sampah plastik yang dapat merusak lingkungan.
Untuk itu, Pemerintah Kota Bogor sangat mengapresiasi inisiatif dari Indosat Ooredoo Hutchison ini dan berharap hal tersebut bisa memotivasi pihak lain untuk memberikan dampak yang lebih luas. Program ini dinilai mampu memberikan manfaat terutama dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya sampah plastik dalam kehidupan.
Selain itu, penggunaan RVM cukup mudah untuk dioperasikan oleh masyarakat awam. Masyarakat hanya perlu melakukan beberapa langkah mudah untuk menukarkan sampah botol plastik menjadi pulsa.
Pertama, unduh dan daftarkan diri pada aplikasi Plasticpay yang tersedia di Google Play Store dan Apple App Store. Kedua, masukkan botol plastik bekas ke dalam RVM untuk menukarkan satu botol dengan pulsa IM3 atau Tri senilai Rp10.000.
Selanjutnya, masyarakat yang menukarkan botol-botol plastik bekas akan mendapatkan poin untuk nantinya ditukarkan dengan beberapa pilihan yang ada pada aplikasi.
Poin yang terkumpul juga dapat ditukarkan pada beberapa pilihan di menu aplikasi, seperti kuota data, telepon, SMS, serta aktivasi layanan Over the Top (OTT) untuk streaming music maupun film.
Sementara itu, botol plastik bekas yang terkumpul melalui RVM akan dikelola oleh organisasi lingkungan Plasticpay menjadi kerajinan tangan dan bentuk lain sebagai bagian dari pemberdayaan komunitas mitra UMKM.
Program solutif dari Indosat Ooredoo Hutchison
itu mengingatkan saya pada masa kecil di Kota Medan, sekira tahun 1980-an. Bahwa, dengan botot atau barang bekas yang dianggap sampah, bisa ditukarkan dengan sesuatu yang menyenangkan.
Botot kedengarannya hina serta tidak mendatangkan keuntungan atau manfaat. Kalau dicermati, botot tak ubahnya upaya peduli lingkungan dengan cara memulung dan memungut, memisahkan dan memilah sampah.
Di daerah sekitar Sumatera Utara, termasuk di Kota Medan, botot merupakan sebutan untuk barang-barang rongsokan seperti botol minuman, ember pecah, kardus, koran bekas, besi dan segala perabot rumah tangga yang telah rusak.
Di masa itu, dengan menukarkan beberapa botol kaca bekas dari sirup, kecap atau saus, saya bisa mendapatkan ‘balon oek oek’ (bunyinya seperti itu) atau ‘balon terbang’ (sebutan untuk balon hias yang diisi gas helium, diikat benang dan dililitkan ke batang kayu atau batu kecil supaya bisa dipegang agar tidak terbang/lepas).
Kala itu belum lazim ada botot kemasan botol plastik, apalagi botol air mineral. Jadi setiap sore, anak-anak di daerah rumah kami, menunggu ‘goni botot’ atau tukang botot. Itu sebutan oleh masyarakat Medan terhadap seseorang yang pekerjaannya sebagai pencari barang-barang rongsokan untuk disetorkan/dijual ke tauke rongsokan. Tapi, bukan berarti syarat untuk membeli balon dari tukang botot ini, haruslah dengan botol. Balon-balon itu juga dapat dibeli dengan uang.
Namun, bagi anak-anak seperti saya dan kawan-kawan yang lain, sungguh rugi rasanya jika untuk mendapatkan balon itu, dengan uang.
Tukang botot yang khusus menerima botot sebagai penukar balon itu biasanya keliling kampung menggunakan sepeda. Sedangkan, tukang botot untuk barang-barang rongsokan yang dihitung kiloan, seperti kardus atau koran, majalah bekas, besi, logam, bahkan seng bekas, keliling ke rumah-rumah penduduk dengan menggunakan becak barang. Ini lagi-lagi sebutan di Medan untuk jenis becak yang khusus mengangkat barang-barang saja, dan tidak ada tempat duduknya untuk orang/penumpang, sehingga disebut becak barang.
Tukang botot dengan becak barang ini, tidak melayani penukaran balon dengan barang bekas. Mereka membayar sejumlah uang sebagai ganti pembelian barang bekas yang mereka terima.
Saya tidak tahu apakah masih ada yang seperti itu,
karena saya sudah jarang, nyaris tidak melihat tukang botot yang menjajakan balon yang bisa dibeli atau ditukarkan dengan menggunakan botol bekas berkeliling pemukiman penduduk.
Tak dipungkiri, di zaman digital ini, pastilah terjadi pergeseran kebiasaan dan kebutuhan. Hiburan anak-anak yang dulunya cukup dengan balon atau mainan lainnya, kini para Generasi Alpha juga butuh gadget seperti para Generasi Z atau Gen Z, sebagai kebutuhan maupun alat hiburan yang tak lepas dari keseharian mereka. Gadget atau gawai tentunya harus ‘berjodoh’ dengan kuota/pulsa.
Menurut saya, IOH sangat jeli membaca apa yang dibutuhkan masyarakat, sekaligus mencari solusi melestarikan lingkungan, terutama mengatasi masalah sampah melalui teknologi inovatif dan kolaborasi.
Sayangnya, tidak semua masyarakat telaten atau peduli mengumpulkan barang-barang bekas, seperti botol kemasan air mineral atau botol kaca bekas sirup dan lainnya, untuk dimanfaatkan kembali. Mirisnya, barang-barang itu dibuang begitu saja bercampur dengan sampah organik atau limbah rumah tangga. Semuanya bercampur jadi satu, tak ada pemilahan yang bisa dijadikan sumber ekonomi baru.
Sebagai salah satu upaya mengurangi tumpukan sampah plastik, di era digital ini, Indosat Ooredoo Hutchison yang dapat mengubah sampah jadi pulsa, juga mampu mengubah perilaku masyarakat dalam menjaga lingkungannya.
Dengan program ini, masyarakat akan
termotivasi memanfaatkan limbah botol plastik mereka menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi lingkungan dan kehidupan mereka ke depannya.
Sungguh, cara yang dilancarkan oleh IOH untuk mendorong perilaku hidup bersih dan mengelola sampah menjadi sesuatu yang memberi manfaat dan menciptakan nilai tambahan itu, relevan dengan perkembangan zaman.
Perusahaan yang kini berusia 55 tahun, selain menjalankan CSR nya sebagai bentuk kepeduliannya menangani masalah sampah, namun juga berhasil ‘membujuk’ masyarakat untuk menyayangi dan menjaga kelestarian lingkungan. (gusti/red)
*Tulisan ini disertakan dalam Journalist Writing Competition Indosat Ooredoo Hutchison