Medan (Pewarta.co) — Dua puluh lima tahun yang lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) lahir dari kebutuhan untuk membatasi kesewenang-wenangan pasar. Kini, di usia peraknya, lembaga ini tak hanya menegakkan hukum, tetapi juga membentuk budaya.
Dari membongkar kartel hingga membangun kesadaran kolektif, KPPU telah menjelma dari institusi penegak menjadi penjaga etika pasar di tengah ekonomi yang terus berubah bentuk.
Ketika berdiri tahun 2000, tantangan KPPU sangat jelas: pasar yang timpang, praktik monopoli yang dibiarkan tumbuh, dan pelaku usaha kecil yang tak diberi ruang bersaing. Dalam dua dekade lebih, taring hukum KPPU telah mengurai ratusan perkara: dari kolusi tender yang sistematis, diskriminasi harga, hingga penguasaan pasar yang merugikan konsumen.
Lebih dari Rp3 triliun denda telah dijatuhkan, dan sekitar Rp1 triliun di antaranya masuk ke kas negara. Tapi lebih dari sekadar angka, KPPU membawa pesan bahwa hukum bisa berpihak pada keadilan ekonomi, jika ditegakkan dengan keberanian.
Namun zaman tak pernah diam. Dunia usaha kini tak hanya diukur dari besar-kecil gudang atau pabrik, tapi dari siapa yang menguasai data, algoritma, dan kecepatan akuisisi. Pasar digital melahirkan tantangan baru yang tak selalu terjangkau oleh aturan lama.
Dominasi tak lagi kasatmata. Ia bersembunyi dalam coding sistem rekomendasi, dalam pembelian senyap terhadap startup pesaing, atau dalam cara algoritma memilih siapa yang tampil lebih dulu di layar pengguna.
Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa menyampaikan bahwa transformasi ini menuntut keberanian untuk bergerak lebih adaptif.
“Persaingan hari ini tidak cukup dijaga dengan pasal-pasal lama, karena membutuhkan ekosistem: regulasi yang berani, kolaborasi lintas sektor, dan publik yang sadar haknya,” kata Fanshurullah melalui keterangan tertulis dilansir Pewarta.co, Rabu (11/6/2025).
Diakuinya, KPPU tidak bisa bekerja sendiri. Dalam sambutannya dia menegaskan ekonomi yang sehat hanya mungkin lahir dari kolaborasi.
“Kita butuh etika bisnis yang dijunjung tinggi dan keberanian rakyat untuk berkata tidak pada praktik curang,” ujarnya.
Peringatan 25 tahun ini juga menandai keseriusan KPPU menata diri dari dalam. Reformasi sistem kepegawaian tengah berlangsung, bukan untuk menjadi lembaga yang kaku dan birokratis, melainkan agar KPPU lebih gesit, lebih tajam, dan lebih berani berpihak pada yang tertindas.
KPPU hari ini tak cukup hanya jadi lembaga pengawas. Ia harus menjadi pelindung ruang tumbuh bersama — bagi pelaku besar, menengah, hingga kecil.
Dalam suasana syukuran itu, hadir pula Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Adisatrya Suryo Sulisto, selaku Ketua Panja Amandemen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Kehadirannya bukan simbolik semata. Adi menyatakan dukungan penuh terhadap penguatan regulasi yang akan memperluas dan memperdalam peran KPPU di era pasar digital.
Amandemen ini akan menjadi fondasi baru — bukan hanya untuk menindak pelanggaran, tapi untuk mencegah ketimpangan sebelum terjadi.
Turut hadir pula Dewan Pengawas, Dewan Pakar, dan seluruh anggota KPPU. Mereka semua berdiri sebagai saksi bahwa lembaga ini bukan sekadar mesin hukum, tetapi juga ruang gagasan, etos, dan harapan agar ekonomi Indonesia tumbuh bukan hanya cepat, tapi juga adil dan merata.
Kini, ketika dunia bergerak makin cepat dan pasar makin rumit, KPPU justru menemukan relevansinya. Ia bukan institusi masa lalu, melainkan penjaga masa depan. Sebab di tengah algoritma yang bisa menyeleksi siapa yang tumbuh dan siapa yang tenggelam, taring hukum tetap dibutuhkan tapi yang diarahkan dengan kompas etika. (gusti/red)