SEBAGAIMANA lazimnya pernah dialami oleh banyak orang lain, Coki Aritonang pun pernah mengalami priode pergulatan batin yang sangat mengusiknya, terutama prihal ibadahnya kepada Sang Khalik, Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Apakah ibadahku, khususnya sholatku, sudah sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah?”
Pergulatan batin itu terjadi, seiring dengan bertambahnya usia Coki Aritonang, terutama setelah ia berumah tangga dan mempunyai seorang puteri. Ada kekhawatiran, bahkan juga ketakutannya, bahwa ibadah yang mulai coba dilaksanakannya dengan tertib itu, ternyata hanya kesia-siaan belaka karena tidak sesuai sebagaimana yang diajarkan di dalam syariat Islam.
Beberapa temannya mengajak Coki Aritonang untuk mengikuti pengajian pada majelis tabligh, juga sekaligus melakukan ‘iktikaf di mesjid. Namun, dia masih ragu dengan ajakan tersebut.
Wow, obrolan kami di awal malam itu, mulai terkesan serius. Lelaki yang sehari-hari kini lebih sering memakai baju gamis — pendek ataupun panjang — serta berpeci lobe itu, ternyata bisa juga serius terutama jika membicarakan hal-hal yang menyangkut ibadah. Meski demikian, Coki Aritonang tetap tak bisa menghilangkan senyumnya yang gampang muncul di sudut bibirnya. Bahkan juga ketawa ngakak, meski sedang asyik berbicara serius.
Begitulah. Dan ternyata, kami punya kegemaran yang sama, sama-sama suka kekeh ngakak. Kami bertiga : aku, H Idrus Djunaidi (Jurnalis tv senior/Penasihat IJTI Sumut) dan Coki Aritonang. Kami seakan tak peduli, bahwa di café itu banyak pengunjung lainnya.
Aku dan Idrus Djunaidi sesungguhnya lebih akrab dengan orangtua Coki Aritonang, almarhum H. Muchtar Aritonang. Persahabatan aku dan Idrus Djunaidi dengan almarhum Muchtar Aritonang tidak hanya sebatas persahabatan antara jurnalis dengan seorang tokoh pemuda. Tetapi juga persahabatan antara Muchtar Aritonang sebagai abang, dengan aku dan Idrus Djunaidi sebagai adik. Kebetulan, Idrus Djunaidi dan almarhum Muchtar Aritonang pernah sama-sama aktif sebagai pengurus PP Sumut.
Akan halnya Coki Aritonang, aku dan Idrus Djunaidi sebagai jurnalis, tentu telah lama mencatat nama Coki Aritonang sebagai aktivis mahasiswa dan pemuda di Medan. Terutama sejak aktivitas Coki Aritonang pada gerakan Reformasi 1998 di Kota Medan.
Membenahi Hal-hal Kecil
Lelaki berjenggot tipis yang kini menetap di Jalan Purwosari, Kelurahan Pulau Berayan Bengkel, Kecamatan Medan Timur itu, mengakui punya banyak catatan buruk di masa-masa mudanya. Salah satu indikasinya, kata Coki Aritonang, yakni dia mendaftar menjadi mahasiswa Fakultas Teknik UMSU di masa kepemimpinan Rektor Almarhum Dalmi Iskandar. Namun dia baru bisa menyelesaikan kuliahnya pada tahun 2009, di masa kepemimpinan Rektor Prof Agussani.
“Aku menjadi mahasiswa UMSU dengan lima orang rektor, bang. Menjadi mahasiswa di masa pak Dalmi, lalu pak Chairuman Pasaribu, Pak Bahdin, pak Dalail Ahmad dan selesai di masa pak Agussani,” katanya, sambil ngakak sepuasnya.
Penyebabnya?
Selain lebih disibukkan dengan kegiatan berorganisasi, diakui Coki Aritonang, lambatnya dia menyelesaikan kuliahnya dikarenakan perilaku negatifnya sebagaimana pernah dialami juga oleh beberapa anak-anak muda.
Namun, seiring berjalannya waktu, juga pendekatan yang dilakukan oleh almarhum ayahnya, perlahan Coki Aritonang mulai menyadari apa sesungguhnya arah hidupnya kelak. “Almarhum ayahku bukan cuma sekedar sebagai orangtuaku. Tapi ayahku adalah idolaku, selain figur Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wassalam sebagai idolaku.”
Perlahan, muncul tekad Coki Aritonang untuk bisa menjadi imam yang layak di dalam rumahtangganya. Dan sekitar dua tahun lalu, dia memenuhi ajakan beberapa temannya untuk mulai mengikuti kegiatan majelis tabligh. Di majelis ini, Coki Aritonang mulai mengulang belajar hal-hal kecil tentang Islam, terutama tentang ibadah sholat.
“Niat awalku, hanya sebagai upaya untuk membenahi hal-hal kecil di dalam beribadah, terutama sholat. Misalnya tata cara niat, tata cara berwudhu, bacaan-bacaan dalam sholat dan hal-hal kecil lainnya,” urai Coki.
Seiring itu, Coki Aritonang pun mulai mencoba mengikuti I’ktikaf di mesjid. Hampir setiap hari Jum’at hingga Minggu, dia mengikuti I’tikaf di Mesjid Madani, yang berlokasi di Pasar VIII, Desa Manunggal, Kecamatan Labuhan, Deliserdang.
Lambat laun, Coki Aritonang merasakan ada hal-hal positif yang dialaminya dari kegiatan mengikuti majelis tabligh dan I’tikaf ini. Terutama, beberapa perubahan positif dalam hal sikap dan perilakunya. Meski niat awalnya mengikuti majelis tabligh ini hanya untuk membenahi hal-hal kecil di dalam beribadah, namun ternyata dia pun merasakan bahwa dia kini bisa lebih dewasa dalam berbagai hal. Terutama dari aspek emosional, intelektual dan spriritual.
“Sangat banyak hal-hal positif yang kuperoleh dari majelis tabligh yang kuikuti ini. Terutama sangat mendukung untuk profesiku sebagai tenaga pengajar di UMSU, khususnya di dalam rumah tanggaku, maupun di dalam pergaulanku sehari-hari.”
Coki Aritonang tak bisa membantah, bahwa peran ayahnya sangat besar di dalam membentuk karakternya. Sejak kecil, ayahnya telah menanamkan nilai-nilai dan moral agama kepada anak-anaknya. “Ayah itu sangat tegas dan keras, tapi mendidik kami dengan penuh kasih sayang.”
Coki Aritonang sangat mengingat beberapa pesan almarhum ayahnya kepada dirinya dan adik-adiknya. Diantaranya, jangan pernah menyakiti orang lain apalagi para sahabatmu, harus punya prinsip dan tegas dalam memegang prinsip, jangan pernah menilai sesuatunya berdasarkan materi, rendahkan hatimu dan besarkan jiwamu. Sadarilah, bahwa sebagai manusia kita adalah makhluk yang lemah.
“Nilai-nilai agama yang ditanamkan ayahku sejak dini, itulah yang kuyakini kemudian menuntunku ke arah yang lebih baik, meski masa-masa mudaku sempat tersesat sejenak,” lirih Coki.
Tentang peristiwa ‘jeweran sontoloyo’ yang dihadapinya saat ini, Coki Aritonang bisa menerimanya dengan cukup tenang. “Semuanya aku pasrahkan kepada Allah SWT. Aku tetap berupaya untuk merendahkan hatiku dan membesarkan jiwaku. Aku siap meminta maaf dan memberi maaf kepada pak gubernur. Tapi, tentu semuanya itu berpulang kepada yang menjewerku.”
Oh iya, malam pun semakin merangkak larut. Acara ngopi kami sejak sore itu, mestilah ada akhirnya. Jika obrolan kami hari ini diawali dengan kekeh ngakak, maka sangat layaklah jika kami akhiri dengan kekeh ngakak juga. “Kapan-kapan, kita ngopi lagi, tapi pindahlah tempat ngopinya. Idealnya, cari café di dekat mesjid, ya bang,” ujar Coki kepadaku. (Choking Susilo Sakeh/sekian/red)