Jakarta (pewarta.co) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Prof HM Tito Karnavian PhD berharap peringatan Hari Ibu Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Desember, tak hanya dimaknai sebagai kegiatan ritual tahunan saja, melainkan harus dimaknai sesuai makna filosofinya.
Hal itu diungkapkannya dalam Puncak Acara HUT Dharma Wanita Persatuan (DWP) ke-20 dan Peringatan Hari Ibu ke-91 Tahun 2019 di Aula Lantai 3 Gedung F Kemendagri, Jakarta, Senin (23/12/2019).
“Khusus mengenai Hari Ibu ini saya berharap ini tidak menjadi acara ritual saja, ritual artinya kegiatan yang diulang-ulang tahunan. Akhirnya kalau kita menganggap ritual biasa, kita akan berpikir ini suatu yang biasa aja, selesai ya sudah begitu. Saya ingin peringatan Hari Ibu ini kita maknai dulu filosofinya, dari filosofi itu kita tahu mau dibawa ke mana Hari Ibu termasuk Dharma Wanita,” kata Mendagri.
Menurutnya, untuk memahami filosofi peringatan Hari Ibu, maka perlu mengetahui akar sejarahnya hingga bisa ditetapkan sebagai Hari Ibu Nasional yang ditetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 Tahun 1959 oleh Presiden Soekarno.
“Saya sampaikan kita harus berpikir memahami sejarah, saya khawatir yang menyampaikan itu tidak memahami sejarah itu, sehingga menggap bahwa Hari Ibu di Indonesia sama dengan Mother’s Day Internasional. Beda, sangat beda,” tegas Mendagri.
Mendagri mengatakan, peringatan Hari Ibu Nasional jauh dari kesan budaya barat maupun berbau keagamaan. Hal ini jelas berbeda dengan peringatan Mother’s Day Internasional yang berawal dari Yunani maupun sarat akan peringatan agama tertentu.
“Mother’s day yang ada di lingkup Internasional itu memang awalnya di Yunani mulai berlanjut di UK dalam rangka penghormatan ibu dan kemudian identik dengan ada ritual keagamaaan, sementara mulai menginternasional ketika ada seorang tokoh dari Amerika bernama Anna Jarvis, tahun 1908, dalam rangka mengenang wafatnya ibunya. Jadi ini ada alasan pertama religius untuk tempat lain, kemudian juga ada alasan personal untuk ibunya, berbeda di tempat-tempat lain. Rata-rata di mulai Mei dan di bulan Maret, tidak ada waktu yang sama Mother’s Day, sehingga diperingati di berbagai dunia dengan waktu yang berbeda,” jelas Mendagri.
Sementara, peringatan Hari Ibu Nasional pada 22 Desember 2019 murni berangkat dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Tanggal tersebut dipilih untuk merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, juga memaknai perjuangan seorang ibu.
“Di tempat kita (Indonesia) Hari Ibu ini itu untuk memperingati Kongres Perempuan pertama tanggal 22 Desember Tahun 1928 di Yogyakarta yang diikuti lebih kurang 30 organisasi wanita, mereka melaksanakan kegiatan kongres itu dalam rangka kemerdekaan, di mana dua bulan sebelumnya sudah ada gerakan para pemuda yaitu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tanggal 22 Desember kurang dari dua bulan wanita pun juga bergerak, membuat kongres pertama, karena waktu di bawah penjajahan otomatis tidak berbicara banyak politik, tetapi arahnya ke perjuangan kemerdekaan dengan juga mengedepankan emansipasi perempuan. Peran para ibu yang lebih luas dalam rangka kehidupan bermasyarakat, selain dari masalah rumah tangga,” terang Mendagri.
Dengan demikian, Mendagri kembali menegaskan bahwa Peringatan Hari Ibu Nasional tak terkait sejarah internasional maupun unsur agama. Peringatan Hari Ibu Nasional merupakan buah perjuangan para wanita dan para ibu di Indonesia sesuai akar sejarah.
“Kita melihat bahwa tahun 1959 baru kemudian ditetapkan oleh Presiden Soekarno sebagai hari ibu, hari ibu 22 Desember kita tidak diperingati sebagai Mother’s Day Internasional di negara lain, tidak. Ini versi kita sendiri, jadi karna faktor sejarah, bagian dari perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka, dan mengisi kemerdekaan pada saat itu,” pungkas Mendagri. (Dedi/rel)