Samarinda (pewarta.com) – Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Center for Regional Policy Study (CRPS) menggelar perluasan ide hasil survei anti korupsi 2017 di Kota Samarinda. Untuk di Kalimantan Timur, ICW menilai potensi korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) cukup besar, tetapi sulit untuk diungkap.
“Biasanya di luar kasus suap perizinan, ya itu. Misalnya begini, negara seharusnya bisa dapat sekian, tapi fakta yang didapat justru beda atau kurang karena dikorupsi. Itu kan sulit dipastikan (angka kerugiannya) makanya kita sebut potensi,” kata anggota Badan Pekerja ICW, Lais Abid di Samarinda, kemarin.
Abid menambahkan, bahwa potensi korupsi SDA lebih sulit dibandingan dengan korupsi pengadaan atau pekerjaan proyek pembanungan.
Misal pengerjaan jembatan, kata dia, jika dikorupsi maka akan mudah diketahui jumlah nominalnya.
Dari pengamatan ICW, indikasi proses korupsi disektor SDA dilakukan melalui suap perizinan atau melakukan pembayaran di luar ketetapan
resmi. Adanya potensi pihak melakukan pembayaran di luar ketentuan karena ingin urusan perizinan dipercepat. Bahkan, ada juga yang memaksa ingin mendapatkan izin walaupun tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.
“Contoh kasus di Sulawesi tengah, Bupati Buol Amran Batalipu. Seharusnya pemerintah daerah itu tidak boleh keluarkan izin kebun sawit, tapi perusahaan menyuap bupati (Amran),” jelas Abid.
Idealnya, Abid menilai kasus korupsi di pertambangan atau SDA secara umum itu bisa dijerat juga dengan Pasal 2 dan 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dalam hal adanya kerugian negara.
“Tapi itu masih sedikit sekali (yang menjerat kasus Korupsi SDA berakibat pada adanya kerugian negara). Baru pertama kali itu kasus
Gubernur Sulawesi Tenggara (saat dijabat Nur Alam) yang kasus tambang bukan suap tapi kerugian negara,” kata Abid.
Sementara itu, dari hasil survei nasional anti korupsi tahun 2017 yang dilakukan ICW, 87 persen masyarakat menilai hampir tidak ada perbaikan pada korupsi di satu tahun terakhir. Survei tersebut dikerjakan sejak 5 April hingga 19 Mei 2017 dengan jumlah responden
sebanyak 2.235 orang yang tersebar di 34 Provindi dan 177 Kabupaten atau Kota, juga mencakup 212 Desa atau Kelurahan.
“Kaltim juga ada, tapi ini hasil skala nasional. Lalu kita sebarkan juga ke Kaltim,” kata Abid.
Dari hasil survei tersebut, responden menilai tingkat sektor tertinggi korupsi terjadi pada saat mendaftar menjadi Pegawai Negeri Sipil yaitu mencapai 56 persen, disusul polisi 50 persen, pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah 48 persen, pengadilan 45 persen, implementasi anggaran oleh pemerintah 44 persen, Universitas 27 persen, perawatan kesehatan masyarakat 27 persen,mengurus kelengkapan administrasi publik 25 persen.
Untuk tingkat persepsi adanya tindak korupsi saat berhubungan dengan pihak administrasi dan guru merupakan yang paling dipercaya masyarakat karena hanya 2,3 persen responden yang meyakini adanya tindak pidana korupsi dalam hal tersebut.
Menurut Abid, ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat menilai proses pendaftaran CPNS dinilai paling berpotensi adanya tindak pidana korupsi.
“Pendaftaran CPNS dinilai banyak pungli, bukan hanya itu, adanya pihak yang mengaku sebagai panitia rekrutmen dan melakukan
penipuan juga jadi salah satu faktornya,” ungkap Abid. (red)