Oleh Wina Armada Sukardi, wartawan dan penulis senior
SEBELUMNYA banyak yang “ngiri” terhadap Fredy Sambo. Suatu rasa yang manusiawi saja. Rasa “iri” dalam kontek persepsi positif. Ingin bagaimana diri dapat seperti Sambo. Bermimpi dapat seberuntung Sambo.
Betapa tidak. Sambo memiliki segalanya. Wajah tampan. Tubuh atletis Tegap. Macho.
Pesonanya dapat membuat kaum hawa “klepak – klepek.”
Sambo punya isteri yang menarik. Manis. Kulit wajahnya nampak jelas terawat sangat baik. Terasa benar ada “sentuhan” perawatan kelas atas.
Sang isteri juga termasuk yang mudah bergaul. Dapat cepat menyesuaikan dengan lingkungan. Dia dapat membawa diri dengan baik. Tak aneh isteri Sambo juga banyak disukai orang.
Karier Sambo sendiri melesat bak mobil formula one. Dia sudah menyandang bintang dua di pundaknya. Sudah Letnan Jenderal (Letjen) polisi. Hebatnya lagi , di antara seluruh koleganya, Sambo merupakan jenderal berbintang dua paling muda, serta termasuk jajaran jenderal yang menonjol. Dia kerap memberikan pengarahan kepada anak buahnya dengan jelas dan tegas. Disiplin kepolisiannya terpancar dari penampilanya. Pers sering mengutipnya. Media sosial kerap menampilkannya.
Tak heran Sambo diserahi jabatan Kepala Profesi Pengamanan (Propam), sebuah jabatan yang selain bergengsi, juga menjadi simbol penjaga marwah polisi. Propamlah, melalui alat kelengkapannya, dapat
menindak, menahan dan menyatakan seorang anggota polisi melanggar etika atau disiplin polisi. Jika merasa diperlakukan tidak sesuai prosedur atau tidak adil, masyarakat dapat melaporkan anggota polisi ke Propam. Nanti Propam bakal memeriksa polisi yang dilaporkan. Kalau si polisi terbukti bersalah, akan dihukum sesuai tingkat kesalahannya. Kalau pelanggaran etik dan disiplin organisasi kepolisian, polisi yang bersangkutan diberikan sanksi etik. Sedangkan jika ditemukan mengandung unsur pidana, dapat dibawa kepada proses hukum pidana yang berlaku. Pendek kata, Propamlah yang menjaga harkat dan martabat polisi. Marwah polisi.
Tak heran jabatan Kepala Propam menjadi sangat berpengaruh. Berwibawa. Tak ada polisi yang tidak “jiper” (baca: takut) terhadap Propam. Selain kalau terbukti bersalah dapat dikenakan sanksi, dalam karier si polisi bakal ada catatan negatif pernah ditindak Propam. Kalau boleh, polisi selalu akan menghindar dari sanksi Propam.
Sesama jenderal bintang dua pun, segan kepada pemangku Kepala Propam. Posisi itulah yang disandang oleh Sambo. Hebat bukan?
Tak sampai disitu. Sambo sudah digadang-gadang menjadi next Kepala Polisi (Kapolri). Tinggal tunggu waktu saja, posisi Tribrata 1 atau TB1 , julukan Kapolri, berpeluang dapat diraihnya. Kurang apa lagi?
Oh ya, semua itu masih didukung oleh kekayaan yang memadai. Rumah, tanah dan mobil tersedia lebih dari cukup. Barang-barang branded pun menjadi salah satu keseharian yang dinikmatinya, termasuk pistol merek Clock. Untuk senjata api pistol, merek ini setara merek
tas wanita seperti Hermes, Louis Vutton dan lain-lain. Hanya para perwira dan kaum the haves yang mampu membeli pistol ini. Sambo pun sanggup mempunyai pistol Clock.
Jadi, apalagi yang kurang dari Sambo? Segalanya boleh dibilang relatif “sempurna.” Maka tak heran jika banyak orang yang “ngiri” terhadap Sambo. Ingin jadi seperti Sambo. Berkhayal dapat sehebat Sambo.
Meskipun telah banyak didengungkan dan diulang-ulang, tapi tak banyak yang dapat menghayati : kekuasan, jabatan, uang dan harta ialah amanah yang perlu dijaga dengan cermat, hati-hati dan penuh kehormatan. Jika tidak, kekuasan, jabatan, uang dan harta itu justeru tiba-tiba bakal menjadi palu godam yang mampu meruntuh lantakkan semua yang dimiliki dalam sekejab. Harga diri akan terpelanting sampai titik nadir. Sampai di tingkat hina dina sehina-hinanya.
Sambo, tentu, paham soal ini. Apalagi dia penjaga marwah polisi. Pasti dia tahu benar akan hal ini, bahkan mungkin hafal. Hanya satu yang kurang, dia tidak menghayati sepenuh hati. Dia tidak menjiwai dengan seluruh tarikan nafasnya. Sambo hanya menempelkan pada dirinya, tetapi tidak melekatkan pada jiwanya. Sambo hanya
menafsirkanya secara harafiah, bukan dari nurani yang terdalam.
Walhasil, Sambo tersandung di “lobang yang keci,” tapi berdampak meledak dahsyat menjadi gempa nasional.
Terpicu oleh motif yang sejatinya dapat “diselesaikan” oleh perwira tinggi setingkatnya, tapi emosi Sambo tersulut luar biasa. Dia lepas kendali. Sesaat dia hilang akal sehat. Sambo dituduh sebagai aktor intelektual pembunuhan berencana anak buahnya sendiri. Itu yang pertama.
Adapun yang kedua, cara eksekusi pembunuhan itu sendiri “sangat amatiran.” Disain pembunuhan kentara sama sekali tidak matang. Alibi-alibi yang ingin diciptakan cetek (baca: dangkal) sekali. Seakan semua itu dilaksanakan oleh penjahat amatiran yang sama sekali tidak pernah mengenal keahlian kriminal. Tak ada impresi sama sekali itu dilaksanakan oleh seorang jenderal pemegang marwah polisi yang sudah memiliki pengetahuan asam garam lika-liku perbuatan kriminal. Cara bertindaknya bukan cara seorang jenderal bintang dua.
Memang itulah yang sering terjadi jika kekuasaan, jabatan, uang dan harta tidak dirawat sebagaimana semestinya. Pemangkunya menjadi kalap. Hilang pertimbangan taktis dan teknis.
Dampaknya, seluruh tindakannya dengan mudah dapat terlacak dan terbongkar. Hampir tak ada yang menjadi misteri yang tak terpecahkan dalam kasusnya, meski atas permintaannya sendiri
motif Sambo melakukan itu semua belum diumumkan oleh polisi.
Sang perwira tinggi yang gagah nan perkasa serta berkuasa itu pun kini menghadapi ancaman tuntutan yang maha berat: mulai hukuman mati, seumur hidup sampai yang paling ringan 20 tahun penjara. Balada kejayaan Sambo ambyaar dalam sekedipan saja.
Tak hanya sampai disitu. Sambo pun menularkan pengaruh buruk terhadap para loyalisnya. Mereka juga terancam hukum yang berat karena disangka ikut membantu melaksanakan rencana pembunuhan oleh Sambo.
Nah, apakah setelah seperti ini, masih banyak yang masih “ngiri” kepada Sambo? Semua yang saya tanya, langsung menggeleng kepala. Tak ada lagi yang “ngiri” terhadap Sambo. Tak ada lagi yang mau bernasib seperti Sambo. Malah sebagian yang selalu dekat dengan Sambo, sudah mulai “bersih-bersih” menjauh dari pengaruh Sambo. Mereka takut dianggap ikut terlibat dari bagian Sambo.
Sambo hanyalah satu contoh kita tak boleh “ngiri” kepada orang lain. Kita harus menjadi diri kita sendiri. Kita harus memakai “baju kehidupan” yang diberikan kepada kita. Bukan berarti kita tak boleh berikhtiar. Berupaya. Itu boleh, dan bahkan harus. Hanya jangan melewati batas. Jangan melewati berkah yang telah kita terima. Jangan ingin menjadi orang lain. Tetaplah menjadi diri sendiri. Bersyukurlah terhadap yang kita punya.
Memakai ukuran orang lain terhadap diri sendiri, selain tidak pas, juga berkonsekwensi dapat menjerumuskan kita. Balada Sambo membuat kita perlu bertanya: nikmat mana lagi yang kita ingkari?
Dari kejauhan terdengar lagu dari Dewi Yull yang biasa duet dengan Brory…”Kau bukan dirimu lagi…”* (red)