Mekkah (pewarta.co) – Seorang ibu tua menceritakan pengalamannya. Aku memiliki tiga orang anak laki-laki, semuanya sudah menikah.
A. Anak Laki-Laki Yg Pertama.
Suatu kali aku menziarahi anakku yang paling tua. Tujuanku pada waktu itu ingin menginap di rumahnya bersama istri anakku yg pertama.
Di pagi hari aku meminta kepada istrinya air untuk berwudhu’. Lalu aku bewudhu’ kemudian shalat. Air lebih wudhu’ku aku tumpahkan ke atas kasur tempat tidurku semalam. Ketika ia datang mengantarkan sarapan pagi aku berkata kepadanya,
“Ananda, beginilah kondisi kalau sudah tua renta. Semalam aku ngompol di atas kasur”.
Dengan spontan ia emosi dan marah. Aku mendengar kalimat kasar, pedas dan kotor meluncur tanpa rem dari mulutnya. Kemudian ia memerintahkanku untuk mencuci dan mengeringkannya kembali. Ia juga mengancamku agar tidak melakukan itu lagi, kalau tidak….. awas!
Aku tahan kemarahanku, aku bersihkan tempat tidur itu dan aku keringkan kembali.
B. Anak Laki-Laki Yg Kedua
Hari selanjutnya aku pergi ke rumah anakku yang kedua. Di sana aku juga melakukan hal yang sama.
Meledak marah istrinya dan ia memperlakukan ku seperti yang dilakukan oleh istri anakku yang pertama. Bahkan ia melaporkan ku kepada suaminya. Anakku diam saja, tidak memarahi istrinya dan tidak membelaku, sebagai ibunya.
Setelah itu aku memutuskan untuk meninggalkan mereka, dan selanjutnya aku pergi ke rumah anak bungsuku, yg ketiga.
C. Anak Laki-Laki Yg Ketiga
Di rumah anakku yg paling bontot. Aku juga melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan di rumah anak-anakku yg pertma dan kedua. Ketika istrinya datang mengantarkan sarapan pagi, aku beri tahu dia bahwa aku semalam ngompol di atas tempat tidur.
Sambil tersenyum, ramah, sopan dan santun ia berkata:
“Tidak apa-apa, ibu. Ini keadaan orang sudah tua. Dulu berapa sering kami ngompol di pangkuan ibu ketika kami masih kecil”.
Kemudian ia bersihkan tempat tidur itu, ia keringkan dan ia beri wewangian.
Siang harinya aku berkata kepadanya, Aku punya seorang teman. Ia minta belikan perhiasan emas kepadaku, tapi aku tidak tahu ukurannya seberapa. Orangnya persis sebesarmu ini. Tolong berikan kepadaku ukuran tanganmu Setelah mendapatkan ukuran yang ia inginkan, orang tua itu pergi ke pasar membeli perhiasan emas yang banyak karena ia punya harta melimpah.
Kemudian ia undang seluruh anak-anaknya dan menantunya untuk datang ke rumahnya. Ia keluarkan seluruh perhiasan yang sudah ia beli lalu ia ceritakan perihal sebenarnya bahwa ia sengaja menumpahkan air di atas tempat tidur. Tidak ada ia ngompol waktu tidur.
Ia panggil istri anaknya yang paling kecil, lalu ia pasangkan perhiasan itu kepadanya. Ia berkata:
“Inilah anakku tempat aku bersandar nanti ketika aku sudah semakin tua. Aku akan menghabiskan sisa-sisa umurku bersamanya”.
Hampir saja dua orang istri anaknya yang pertama dan kedua pingsan menahan perasaan malu dan amat menyesal.
Selanjutnya ibu itu berkata kepada anak-anaknya:
“Seperti inilah nanti perlakuan anak-anak kalian kepada kalian ketika kalian sudah tua. Bersiap-siaplah untuk menyesal pada hari itu sebagaimana menyesalnya aku atas letihnya aku mengasuh kalian waktu kecil.”
Kecuali adik kalian ini. Ia akan hidup bahagia dan akan menemui Tuhannya dalam keadaan gembira. Kalian berdua tidak mendapatkan hal seperti ini dari istri-istri kalian karena kalian tidak mendidik mereka tentang harga seorang ibu”.
Sesungguhnya jiwa- jiwa yang fitrahnya hidup akan merasa bahagia apabila mampu memberikan kebaikan dan manfaat untuk orang lain. Sebaliknya, jiwa yang fitrahnya mati dan tertutup justru merasa bahagia jika melihat kesusahan dan penderitaan orang lain. Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
Jika kebaikanmu terhadap orang lain membuat hatimu tenang, dan keburukanmu menyusahkanmu, maka kamu adalah seorang mukmin yg sejati. “
(HR. Ahmad).
Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia lain. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi hajatnya lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjidku, masjid Nabawi, selama sebulan penuh.(red)