Medan (Pewarta.co)-Pandemi Covid-19 masih berlangsung. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) juga belum kembali ke posisi seperti tahun lalu sebelum Novel Coronavirus itu menguasai dunia.
Namun, di setiap situasi, investor dapat terus mencari strategi untuk berinvestasi. Saat harga saham masih rendah seperti sekarang, dapat menjadi waktu bagi investor untuk membeli.
“Saham yang mengalami potensi kerugian sejak awal tahun bisa menjadi simpanan untuk jangka panjang, yang bisa direalisasikan menjadi keuntungan di depan ketika IHSG kembali ke posisi sebelum pandemi,” kata Kepala Perwakilan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Sumatera Utara Muhammad Pintor Nasution Jumat (2/10/2020).
Pintor menuturkan saham-saham apa yang bisa dibeli investor saat ini. Dia berujar, seperti yang disampaikan oleh sejumlah pengelola keuangan, mulailah dengan saham-saham blue chip yang risikonya relatif lebih kecil.
Menurutnya saham blue chip juga merupakan saham perusahaan-perusahaan dengan kinerja yang baik. Sehingga, walaupun emiten blue chip ini terdampak pandemi, akan lebih cepat mengalami recovery.
“Tentunya sektor usaha ikut mempengaruhi saham mana yang lebih dahulu mengalami recovery,” tukasnya.
Blue chip bisa diartikan sebagai saham lapis satu atau saham dari perusahaan besar yang kinerja keuangannya stabil. Istilah blue chip berasal dari permainan kartu poker. Saat bermain poker, ada tiga keping koin (chip), yaitu yang berwarna merah, putih, dan biru. Yang warna biru nilainya paling besar di antara yang lain. Sehingga, saham blue chip merupakan saham dari perusahaan besar yang kinerja keuangan, termasuk labanya, relatif stabil.
“Besar dan stabil itu dilihat dari besarnya modal dan aset perusahaan, serta kapitalisasi pasarnya,” katanya.
Dijelaskannya, kapitalisasi pasar adalah harga saham perusahaan yang tercantum di bursa, dikalikan dengan jumlah lembar saham yang beredar di pasar.
Ada banyak pandangan terkait pengkategorian besar kecilnya kapitalisasi pasar. Salah satunya, kapitalisasi pasar yang besar ada dikategorikan pada kisaran Rp10 triliun ke atas. Sedangkan, jika kapitalisasinya antara Rp500 miliar hingga Rp10 triliun, maka sahamnya dikategorikan sebagai saham lapis dua, dan untuk Rp500 miliar ke bawah, disebut saham lapis ketiga.
Bicara soal keunggulannya, meski terlihat kuat, bukan berarti blue chip pasti untung.
Saham-saham yang ada di lapis kedua dan lapis ketiga juga memiliki potensi keuntungan.
Namun, secara risiko, blue chip bisa dikatakan relatif lebih aman dari yang lain.
Sebab, risiko fluktuasi nilainya lebih rendah ketimbang saham lapis dua dan tiga.
Saham lapis dua atau tiga harganya cenderung lebih murah, dan terkadang ada masa-masa di mana valuasi saham lapis dua meningkat signifikan.
Harga saham blue chip per lembar sahamnya relatif lebih tinggi dibanding saham-saham di lapis kedua dan ketiga.
Untuk itu, modal yang dibutuhkan untuk berinvestasi di saham blue chip juga relatif lebih tinggi.
Oleh sebab itu, di saat ini ketika harga-harga saham sedang turun, investor memiliki kesempatan untuk mengoleksi saham-saham blue chip dengan harga lebih terjangkau.
Saham blue chip juga umumnya sudah lama tercatat di bursa.
Faktor jangka waktu bisa membuat sebuah perusahaan mengalami peningkatan laba dan perkembangan yang signifikan.
Tetapi, tidak semua saham yang sudah lama tercatat di bursa ujug-ujug menjadi saham blue chip.
Likuiditas saham menjadi indikator berikutnya. Maksud dari likuid adalah banyak diperdagangkan, atau banyak investor perorangan atau lembaga yang memiliki dan memperdagangkan saham ini.
Saham-saham kategori blue chip juga biasanya masuk ke daftar saham teraktif yang diperdagangkan di bursa.
Di BEI, kata Pintor, ada indeks saham LQ45. Indeks saham ini berisi 45 saham yang paling likuid.
Rata-rata saham blue chip ada di indeks tersebut.
Tapi bukan berarti semua yang di LQ45 itu blue chip. Bisa saja ada saham yang saat itu karena sektornya lagi ramai, sehingga banyak ditransaksikan, dan bukan karena laba perusahaannya sedang menanjak.
Konstituen saham yang masuk perhitungan indeks LQ45 direviu setiap enam bulan sekali.
“Jadi, bisa ada saham yang saat ini ada dalam daftar LQ45, dan ada yang kemudian berganti,” ujarnya.
Untuk membayangkan perusahaan seperti apa yang masuk kategori saham blue chip, investor dapat melihat tolak ukurnya dari 20 emiten yang paling banyak disebut sebagai emiten blue chip dalam riset-riset yang dibuat perusahaan sekuritas yang dipublikasikan oleh media massa.
Contoh 20 saham tersebut, antara lain, perusahaan sektor konstruksi Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI), perusahaan semen, Semen Indonesia Tbk (SMGR), sektor petambangan, yaitu Adaro Energy Tbk (ADRO), Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan Bumi Resource Tbk (BUMI), perusahaan logistik AKR Corporindo Tbk (AKRA), grup usaha otomotif Astra International Tbk (ASII). Selain itu, sektor makanan, Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), sektor kimia, Barito Pasific Tbk (BRPT), sektor telekomunikasi, Telekomunikasi Indonesia Persero Tbk (TLKM), sektor alat berat United Tractors Tbk (UNTR), sektor rokok, Gudang Garam Tbk (GGRM) dan HM Sampoerna Tbk (HMSP). Sektor properti diwakili oleh Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), sektor media massa, Global Mediacom Tbk (BMTR). Yang paling banyak adalah sektor perbankan, antara lain, Bank Central Asa Tbk (BBCA), Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), Bank Tabungan Negara Persero Tbk (BBTN), dan Bank Mandiri Persero Tbk (BMRI).
Sebagian besar saham-saham ini ada di daftar saham LQ45.
Pintor mengingatkan, ketika hendak memilih saham-saham blue chip ini, pastikan investor juga memahami sektor usaha masing-masing.
Menurutnya investor juga perlu melihat kembali tujuan investasi saham.
Dia menyarankan, belilah saham untuk tujuan investasi jangka panjang untuk meminimalkan risiko investasi. Semakin banyak jenis saham yang dipilih (prinsip diversifikasi) juga semakin baik, walaupun membutuhkan modal yang besar.
“Diversifikasi mampu mengurangi risiko investasi,” pungkasnya. (gusti)