(Tanjung Balai Pewarta.co)
Catatan Wikoe Sapta
Perwira polisi kelahiran Bali itu, kenyang dengan aksi demonstrasi tengah malam. Sedikitnya, dua kali aksi diuji kepadanya. Beginikah langgam aktivis Kota Kerang, Tanjungbalai, Sumatera Utara?
Mentari bersinar tepat di atas kepala, Rabu (5/05/2021) lalu. Perjalanan dari Medan menuju Kota Kerang, pun terasa menggerahkan.
Di gerbang masuk Kota Tanjungbalai, sejumlah personel polisi tengah mempersiapkan pos Ops Ketupat atau penyekatan mudik. Ya, tahun ini, pemerintah secara masiv melarang mudik lebaran.
Kota ini terasa gersang, karena panas yang menyengat. Selain efek hawa laut, sedikit pula rerimbunan pohon ditanami di pinggir jalan atau trotoar.
Bagi penduduk setempat sengatan mentari bukan halangan. Aktivitas di keramaian, melaut dan lain sebagainya, berlangsung normal.
Berlalu lalang dengan kereta (sepeda motor) saja pun, warga ‘malas’ mengenakan helm. Seolah kebal, meski ubun-ubunnya disengat.
Beberapa minggu belakangan, kota seluas 60,52 km2 itu, viral seantero nusantara. Walikotanya diboyong ke Jakarta dan dijadikan tersangka oleh KPK. Dikenai dua pasal penyuapan.
Video penyergapannya wara wiri dijagad sosial media. Tapi tak usahlah bahas soal Syahrial, biarkan hukum yang mengadilinya nanti.
Kota ini hanya berjarak lebih kurang 176 Km dari Kota Medan. Lima jam perjalanan ditempuh, sebelum Tol Medan – Tebingtggi, dibangun. Penduduknya berkisar 175.233 jiwa pada 2019 silam.
Sebelum diperluas dari hanya 199 ha (2 km²) menjadi 60,52 km², kota ini pernah menjadi kota terpadat di Asia Tenggara. Jumlah penduduknya lebih kurang 40.000 orang dengan kepadatan penduduk lebih kurang 20.000 jiwa per km².
Akhirnya kota ini diperluas menjadi ± 60 Km² dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 1987, tentang perubahan batas wilayah Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Asahan.
Kota ini dihuni penduduk dengan populasi umat Islam mencapai 86,30%, Kristen 8,3 %, Budha 5,33% dan Hindu 0,019%.
Kotanya juga dijuluki Kota Kerang. Karena dulu pernah menghasilkan kerang dalam jumlah besar. Tetapi beberapa waktu belakangan, produksinya jauh menurun lantaran ekosistem yang tak mendukung.
Beberapa makanan khas diantaranya, kerang daguk (kerang batu), kerang bulu, ikan asin mayung, ikan teri Medan (Teri Putih), udang asin (udang pukul), belacan (terasi), gulai asam, sayur daun ubi tumbuk, kamudi kapal, utak kotam, sombam ikan, anyang pakis, dan anyang Kepah.
Dulu, saban akhir tahun, sering diadakan Pesta Kerang guna memperingati Hari Ulang Tahun Kota Tanjungbalai. Namun kini kurang termonitor.
Jembatan terpanjang di Sumatera Utara, pun melintang di kota ini. Disebut terpanjang, karena dibangun membelah Sungai Asahan, sungai terpanjang di propinsi ini.
Itu selayang pandang Kota Kerang. Penduduknya berkarakter keras, karena kebanyakan bekerja sebagai nelayan. Bicaranya meletup-letup. Khas cakapnya pun berkharisma. Huruf A san E kadang dibaca jadi O. Semisal, Apa jadi Apo, Kenapa jadi Kenapo dan Kejap jadi Kojap (eheheee..).
Berbanding lurus dengan Bali, yang berkarakter lembut, kan? Sebagaimana halnya AKBP Putu Yudha Prawira, yang kini mengepalai Polres disana. Perwira menengah polisi ini asli dari Pulau Dewata.
Bali memiliki kondisi alam yang begitu luar biasa. Membuat Bali begitu terkenal sebagai destinasi wisata. Bahkan pamornya sudah lama melekat di kalangan turis asing.
Namun tak hanya dikenal dengan alamnya, ternyata di mata pelancong, kebiasaan, karakter, hingga budaya orang Bali juga sangat memukau.
Bahkan karena sangat menarik, citra positif Bali juga sangat melekat berkat karakter-karakter masyarakatnya yang terkenal baik dan ramah.
Orang Bali terkenal sebagai pribadi yang murah senyum. Sebenarnya tak hanya di Bali, sikap murah senyum juga dimiliki oleh masyarakat daerah lain. Namun karena turis yang datang ke Pulau Dewata lebih banyak, maka kebanyakan wisatawan mancanegara menganggap orang Bali dan seluruh masyarakat Indonesia memiliki sikap ramah dan murah senyum.
Nah, disinilah karakter Bali dan Tanjungbalai dipertemukan. Putu, harus pintar-pintar membawa diri dan memenejemen masing-masing karakter, baik sifat dan emosi.
Pernah suatu waktu, Putu dibuat geram, tapi tidak one hundred persen kadarnya. Hanya setengki, lantaran persis jam 12 malam, depan pagar Polresnya, belasan orang datang menggeruduk. Jam 12 malam? Wakwow! Sopan nggak sih, demo tengah malam? Wallahualam.
Apa yang dibuat Putu? Termenung sebentar, sambil puter otak. Lalu, pintu gerbang diperintahkan untuk ditutup rapat. Para aktivis diberikan keleluasaan jerit-jerit, suarakan aspirasi sampai suara serak. Sementara anak buahnya, yang jaga di pos piket, diminta istirahat.
“Saya suruh istirahat aja di pos. Saya yang tanggungjawab, biarin pendemo jerit-jerit di malam buta,”ucap Putu, entah sambil tertawa atau tidak. Karena masker melekat dimulut hingga hidungnya. Tapi, pundaknya bergerak naik turun.
Walhasil, aktivis Kota Kerang, tergerus semangatnya dan membubarkan diri. Aksi kedua, beberapa waktu berselang, dibuat lagi. Namun bukan di depan pagar Polres. Bergeser langsung ke salahsatu hotel.
“Mereka menuntut polisi merazia salah satu tempat hiburan malam di hotel,”kata mantan Kasat Reskrim Polrestabes Medan itu.
Putu tak habis akal. Dia terjun langsung menemui aktivis. Berdialog santun sambil berucap, “Ya sudah, setiap sejam sekali saya razia, dua-duanya (tempat hiburan).”
Pengunjung dan aktivis pun, membubarkan diri. Berselang sejam, eh pengunjung tempat hiburan tadi, nongol lagi. “Aneh kan. Biasanya kalau sudah dirazia, mereka ga akan berani datang lagi. Tapi ini, lain. Sejam kemudian, mereka balik lagi ke situ (tempat hiburan,”ucap Putu.
‘Kedongkolan’ Putu tak cuma diuji demo tengah malam. Aksi menyuarakan tuntutan kepada walikota juga pernah dirasakannya. Aktivis menendangi pot dan berbagai property di kantor walikota.
Putu sigap memerintahkan anak buahnya merekam semua kejadian via handphone. Alhasil, aktivis pun ketar ketir. “Saya sudah mengantongi bukti aksi mereka,”sebut Putu.
Namun Putu tak buru-buru mengambil langkah hukum. Dia masih mengajak dialog. Menggunakan hati agar para aktivis melunak. Tidak main hantam kromo.
Endingnya, aktivis berhasil dirangkul. Tak lagi aksi yang aneh-aneh, namun manut pada jalur menyampaikan aspirasi secara tertib. Mereka, setelah ditelisik, ternyata para mahasiswa ‘abadi’. Tak tuntas menyelesaikan kuliah, lantaran berbagai faktor. Inilah yang kemudian jadi PR buat Putu.
Putu juga dikenal pemererat para pemimpin diinstansi vertikal. Di sebuan akun sosmed, video unsur Forkopimda Tanjungbalai bercanda lewat ucapan-ucapan jenaka, viral beberapa tahun silam. Itulah Putu, polisi asli Bali yang kenyang asam garam di Kota Kerang. Lewat murah senyumnya, ia mampu menaklukkan puak labu Wak Uteh. (AVID)