Jakarta (pewarta.co) – Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto, mengatakan, kasus megakorupsi e-KTP bersifat sangat sistematik. Dia menilai kasus ini sudah didesain dengan rapih sehingga sulit mencari tahu aktor utama dari kasus ini.
“Ada beberapa hal yang kita coba untuk melakukan kajian kecil di beberapa tahapan dalam perencanaan pengadaan, kalau kita melihat bahwa kasus e-KTP ini korupsi by desain, sangat sistemik, pembahasan perencanaan, dan pelaksanaan, siapa aktornya?, sehingga terjadi desain korupsi yang ketara, siapa aktor yang terlibat dalam kasus e-KTP ini?” kata Yenny dalam diskusi yang dilakukan di D’Hotel Jakarta, Jalan Sultan Agung Nomor 9, Guntur, Jakarta Selatan, Minggu (2/4/2017).
Yenny mengatakan proses proyek e-KTP ini sudah ada problem sejak tahun 2010. Menurut Yenny di tahun berikutnya juga terjadi persoalan namun tidak dijadikan treatment untuk perbaikan.
“Kalau melihat, implementasi di 2010 e-KTP ini sudah ada problem, sudah ditemukan persoalan 2011, ada temuan juga di 2012, 2013, di sini siapa yang disalahkan, aspeknya ya Kemendagri, tapi fungsi kontrol adalah teman-teman DPR. Kerangka anggaran kegiatan, tidak dijadikan treatment-nya e-KTP pada tahun berikutnya,” ujarnya.
“Anggaran proyek Rp6,7 triliun, itu anggaran, nilai proyeknya Rp5,9 triliun, setelah pajak Rp5,3 triliun, kerugian negara Rp2,3 triliun, nah nilai korupsi di 6 perusahaan, ini bisa ditarik,” imbuhnya.
Yenny menuturkan adanya proses sistematik pada 18 Kementerian yang diberi tugas dalam program proyek e-KTP ini. Namun kewenangan tersebut dijalankan tidak cukup responsif. Menurut Yenny proyek e-KTP ini sudah didesain karena adanya ketidakpatuhan. Walaupun kini ada beberapa anggota DPR yang mengembalikan uang. Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk mereka juga dimintai tanggung jawab.
“Kalau ada temuan 2012, 2013 ada kerugian negara, ketidakpatuhan, internal yang tidak baik, administrasi tidak baik, kita bisa menilai, kalau e-KTP korupsi nya bisa didesain, itu yang bisa saya sampaikan,” ucapnya.
Dalam diskusi ini juga turut hadir kedua pembicara lainnya yaitu Jonni Oeyoen Peneliti Barang dan Jasa Transparency International (TI) Indonesia dan Titi Anggraini Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). (red/dtc)