Medan (pewarta.co) – Virus radikalisme dapat menjangkiti siapa saja tanpa memandang batasan usia, bahkan anak usia dini sekalipun rawan terjangkiti. Guru khususnya guru agama strategis menghempang masuknya paham negatif itu ke anak-anak. Guru harus jadi agen anti radikalisme.
Hal itu dikemukakan Dr Hj Andi Intang Dulung MHi, Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, mengemukakan itu dalam Forum Harmoni dari Sekolah di Hotel Miyana Deliserdang, Kamis (22/8/2019).
Kegiatan yang digelar BNPT dan Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Sumut ini menghadirkan narasumber Guru Besar UIN Sumut Prof Dr H Syahrin Harahap MA, Ketua FKPT Sumut Dr Zulkarnain Nasution MA dengan moderator anggota FKPT Syofyan Harahap yang juga Ketua DHD PWI Sumut.
Dihadapan seratusan guru termasuk Guru Agama Islam se Kabupaten Deliserdang forum ini mengintegrasikan nilai-nilai agama dan budaya di sekolah dalam menumbuhkan harmoni kebangsaan dengan fokus membekali guru sebagai agen anti radikalisme.
“Seperti kita pahami bersama bahwa guru memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk pikiran, keyakinan, dan prinsip seorang manusia. Radikalisme sebaiknya kita hindarkan sejak awal (sejak muda) agar nanti sewaktu mereka dewasa kita tidak repot lagi menghadapinya,” ujar Prof Syahrin Harahap.
Dengan demikian, lanjutnya kita mulai dari sekolah. Guru itu memiliki kearifan dan kearifan ini perlu diarahkan pada penciptaan kehidupan yang harmonis dan menghindarkan radikalisme dalam berbagai bentuk di dalam situasi dan pelaksanaan pengajaran.
“Disitulah saya kira strategisnya langkah dari BNPT-FKPT ketika menyosialisakan bagaimana pencegahan radikalisme di kalangan guru karena kita harus melihat masa depan 10 tahun, 20 tahun, dan seterusnya,” ujarnya.
Indonesia lanjutnya harus terhindar dari image radikalisme itu dan pertemuan, usaha-usaha, acara-acara jangan berhenti sampai disini tetapi kita harus lanjutkan walaupun dalam bentuk dan suasana yang lebih lokal untuk membicarakan tindak lanjut agar internalisasi dari pencegahan radikalisme itu bisa lebih menyeluruh di kalangan dunia pendidikan dan pada akhirnya sampai ke anak-anak.
“Dalam kajian kami memang ada beberapa pintu masuk, kenapa anak terinfiltrasi, satu adalah faktor guru, dalam konteks Indonesia guru itu bukan hanya sumber nilai bagi anak tetapi di pihak lain menjadi referensi dalam semua hal, termasuk juga wawasan keagamaan, wawasan kebangsaan dan lain sebagainya,” ujarnya.
Lebih lanjut Ketua FKPT Sumut Dr Zulkarnain Nasution SH menguraikan bahwa ketika seorang guru telah terinfiltrasi oleh radikalisme maka akan sangat berbahaya, karena guru akan dimanfaatkan oleh jaringan kelompok radikal terorisme sebagai pintu masuk kepada anak.
Faktor kedua dan yang tidak boleh disepelekan masuknya radikalisme melalui pintu orang tua dan pengasuh. Infiltrasi radikalisme melalui pengasuh tidak mudah untuk dideteksi sehingga pelaku penyebar paham negatif itu banyak memanfaatkan orang tua untuk menulari anak-anaknya.
Berbeda bila melalui oknum guru yang lebih mudah dideteksi dengan sistem dan mekanisme pencegahan seperti yang telah dijalankan baik oleh Kemendikbud maupun BNPT, ujarnya.
Faktor ketiga penyebaran melalui dunia siber. Saat ini kemajuan informasi teknologi menjadi kebutuhan yang tidak bisa dibendung lagi. Tapi di sisi lain, dunia siber yang tanpa batas ini juga sangat rentan menjadi pintu masuk jaringan kelompok radikal teroris.
Faktor melalui jaringan, dimana kelompok atau orang yang telah menajdi anggota kelompok radikal terorisme akan bergerilnya dengan berbagai macam cara untuk merekrut calon–calon pengantin untuk melakukan teror. Sementara faktor lainnya melalui buku pelajaran. (Red)