Oleh : Sri Radjasa, M. BA (Pemerhati Intelijen)
PERIODE kedua kepemimpinan presiden Jokowi, aspek penegakan hukum semakin suram. Nawacita sebagai komitmen politik dan hukum yang berpihak kepada rakyat, ternyata berakhir dengan dukacita. Hukum dengan seluruh perangkatnya, telah dijadikan mesin pembungkam kebebasan sipil, kritik dan suara oposisi.
Bahkan lebih keji lagi, hukum telah didisain menjadi alat politik untuk merebut partai politik papan atas, dengan modus penyanderaan pimpinan parpol atas suatu kasus hukum. Maka di periode kedua Jokowi, hukum tegak sebagai algojo untuk menopang kekuasaan jokowi, dalam rangka memperkokoh posisi jokowi sebagai single power dalam pentas politik nasional. Untuk memenuhi syahwat kekuasaannya, jokowi tidak segan untuk mengorbankan pihak manapun sebagai tumbal kekuasaan. Implikasi dari siasat politik jokowi, mengakibatkan lahirnya para monster aparat hukum yang bekerja hanya atas order jokowi selaku majikan, bukan bekerja atas dasar keadilan.
Kasus perusahaan asuransi plat merah Jiwasraya dan asabri, merupakan contoh tumbal kekuasaan jokowi yang paling biadab. Publik terpesona dengan “keberhasilan” kejagung yang dianggap mampu mengungkap mega korupsi dengan kerugian negara pada Jiwasraya sebesar Rp. 16,8 Triliun dan Asabri sebesar Rp 22 triliun. Kejagung mengemas kasus PT Jiwasraya dan Asabri, seakan murni persoalan hukum, karena ada tindak pidana korupsi didalamnya.
Sebesar apapun kejahatan tidak akan pernah bisa kuasa, sekecil apapun kebenaran tidak akan bisa binasa. Itulah ungkapan yang tepat terhadap kasus PT Jiwasraya dan Asabri. Jokowi tanpa mempertimbangkan etika berpolitik, menggunakan Jiwasraya dan Asabri sebagai batu pijakan untuk merampok partai Golkar. Dengan membabi buta para algojo jokowi yang diperankan oleh oknum kejagung, sebagai pemegang otoritas hukum, secara brutal main tangkap dan sita. Jika menggunakan akal sehat dan nurani yang bersih, bagaimana mungkin kerugian negara di Asabri sebesar Rp 22 triliun, sementara ditahun yang sama Asabri mencatat laba Rp. 3 triliun.
Kemudian pada kasus Jiwasraya, asuransi plat merah tersebut sesungguhnya telah dijadikan bancakan sejak tahun 2008, sehingga ada rencana jiwasraya sebaiknya di ballout, tetapi karena pemerintah masih punya PR bank Century, maka rencana diatas dibatalkan. Proses hukum yang dilakukan kejagung dalam kasus Jiwasraya, sarat dengan muatan politik titipan penguasa. Adalah sangat mencederai rasa keadilan, jika dalam proses hukum kasus Jiwasraya, kejagung tidak mampu menyeret Bakrie Group, dalam pusaran kerugian negara pada kasus Jiwasraya. (Red)