Deliserdang (Pewarta.co)-Budidaya kepiting sistem apartemen (vertical crab house) yang tengah tren di beberapa daerah, turut dilirik Kelompok Tani Hutan (KTH) Bakti Nyata dengan mengembangkan sistem tersebut di kawasan sekitar ekosistem mangrove wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKm) kelolaannya, di Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara.
Sistem tersebut dibuat, melihat potensi komoditas kepiting hasil tangkapan dari kawasan mangrove kelolaan KTH Bakti Nyata yang berada tepatnya di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, serta upaya budidaya untuk pembesaran yang selama ini dilakukan dengan sistem konvensional tidak memberikan hasil nenggembirakan.
“Ya, ada seluas 83 hektare hutan mangrove yang dikelola KTH Bakti Nyata di wilayah Desa Tanjung Rejo, berstatus Hutan Kemasyarakatan dengan izin langsung dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Yang luar biasa, ekosistem mangrove seluas itu tentu menjadi habitat kepiting bakau atau banyak juga orang menyebutnya kepiting batu, yang selama ini menjadi tangkapan masyarakat nelayan dengan alat tangkap tradisional berupa bubu atau perangkap,” kata Eko Hendra, salah seorang anggota KTH Bakti Nyata yang menggagas pembuatan apartemen kepiting tersebut pada wartawan, Kamis (24/11/2022).
Tapi disadari, sokongan alam untuk terus bisa memberikan hasil tangkapan sesuai keinginan, lambat laun berkurang, setidaknya untuk kepiting berukuran besar yang makin lama makin sulit didapat.
“Padahal, pasar ekspor atau untuk restoran-restoran yang ada di Kota Medan saja, umumnya meminta yang berukuran berat 500 gram ke atas. Sementara sekarang, tangkapan dominan di wilayah Tanjung Rejo ini hanya seukuran 200-300 gram,” ucanya.
Karena itu, biasanya masyarakat di sana membesaran lagi kepiting hasil tangkapan dari alam, sampai jadi ukuran sesuai yang diinginkan.
KTH Bakti Nyata pun melakukan kegiatan pembesaran tersebut, namun tambak alam yang pernah mereka buat justru merugi karena terjangan air pasang.
Pernah juga diuji coba menggunakan kerambah kotak bambu, walaupun hasilnya lebih baik namun dirasa belum cukup memuaskan, selain juga ada beberapa faktor yang memberatkan untuk terus dilakukan cara tersebut.
“Akhirnya pilihan jatuh pada sistem apartemen atau crab house. Sejauh ini, hasilnya positif sehingga kami bersemangat untuk terus mengembangkannya,” ucap Eko yang didampingi rekannya Suriono dan Rudiyanto.
Diceritakan Eko, selama sekitar tiga bulan mereka melakukan ujicoba hanya dengan menggunakan 12 boks apartemen yang dibuat dari jerigen bekas minyak goreng.
“Sekitar bulan Juli 2022 lalu kami mulai. Kami mengamati 12 ekor kepiting bakau yang dipelihara dalam apartemen, terutama untuk melihat daya tahannya serta kemampuannya untuk melakukan moulting (ganti kulit). Kami mendapati hasil, tingkat kematiannya rendah, saat itu hanya ada satu ekor yang mati dan hampir seluruhnya berhasil moulting,” sebut Eko yang mengaku belajar otodidak hanya dengan menonton tutorial di Youtube.
Jumlah kematian itu dirasa masih sangat wajar, dibandingkan sejumlah metode yang pernah mereka lakukan mulai dengan membuat tambak alam serta menggunakan kerambah kotak bambu, tingkat kegagalannya jauh lebih tinggi.
Dari situ, Eko dan teman-teman di kelompoknya memutuskan untuk mengembangkan sistem apartemen tersebut.
“Saat ini kami telah menambah sekitar 100 boks lagi, dan berikutnya akan terud ditambah sesuai dengan kemampuan pendanaan hingga target kami sedikitnya punya 1000 boks,” tambahnya.
Dengan target jumlah kepiting yang dipelihara dalam apartemen minimal 1.000 ekor tersebut, dirasa cukup untuk menjaga kontinuitas produksi selain juga mendapat hasil pembesaran sesuai ukuran yang diinginkan pasar.
“Ke depan, selain berproduksi, kami juga ingin berperan sebagai pengepul atau agen. Sejauh ini sudah ada koperasi di Kota Medan yang mau bekerjasamà untuk menjadi pemasar lokal, bahkan jika kami mampu menyanggupi permintaan ukuran tertentu, mereka siap ekspor. Selain juga kami membuka pasar langsung melalui sistem online atau marketplace,” sambung Eko.
“Tapi kami seriusi budidayanya dulu, jangan pula permintaan ada tapi produksi tak mencukupi. Kalau berharap dari hasil tangkapan di alam, kontinuitasnya tak bisa dijaga,” imbuhnya.
Eko kembali menjelaskan, bahwa apartemen kepiting (vertical crab house) mulai banyak dikembangkan di kota-kota besar, dengan pemanfaatan teknologi mengelola air dan ditempatkan di ruang terbatas namun dengan tingkat populasi tinggi.
Kepiting dipelihara di wadah-wadah berbentuk kotak, yang sederhananya menggunakan jerigen, disusun bertingkat dengan aliran air, dan tiap kepiting ditempatkan dalam wadah terpisah alias satu ekor per kotak sehingga mirip rumah apartemen.
Keunggulan sistem ini, selain tidak perlu lahan luas dan modal besar untuk pengadaan tambak, juga bisa dilakulan lebih intensif, serta gampang diawasi.
“Dengan sistem apartemen, berarti sudah terhindar dari satu faktor terbesar penyebab kegagalan sistem konvensional, yakni faktor alam berupa banjir, tambak jebol, air limbah dan sebagainya,”kata Eko lagi.
Faktor terbesar penyebab kegagalan lainnya adalah kanibalisme serta kepiting gagal moulting.
“Ya, kepiting adalah hewan kanibal. Di tambak alam, kita sulit menghindarkan antar kepiting saling memangsa, terutama di saat kepiting moulting karena itulah masa-masa terlemah mereka yang seluruh bagian tubuhnya menjadi lembek sehingga gampang dimangsa temannya,” jelasnya.
Dengan siatem apartemen yang solitaire (ditempatkan terpisah), maka satu faktor penyebab kegagalan juga dihilangkan.
Tinggallah mencermati faktor pengelolaan air serta pakan, sehingga jika itu bisa dilakukan dengan baik maka keberhasilan serta keuntungan ada di depan mata.
Sama dengan sektor pertanian pangan dengan gaung urban farming (pertanian perkotaan), tren budidaya perikanan di perkotaaan menjadi meningkat seiring tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan pangan yang berkualitas, selain didukung semakin berkembangnya berbagai teknologi atau metode budidaya di lahan terbatas yang dapat diterapkan di wilayah perkotaan.
Konsep perikanan perkotaan secara sederhana adalah memindah perikanan konvensional ke wilayah perkotaan, yang memanfaatkan lahan terbatas serta didukung inovasi teknologi.
Contoh yang banyak dilakukan belakangan ini seperti konsep budidaya ikan kolam terpal, akuaponik serta bioflok. Atau budidaya lobster dalam bak dan akuarium.
Dan belakangan, budidaya kepiting bakau dengan sistem apartemen ini.
“Jadi sebenarnya, sistem apartemen ini lebih efisien jika dilakukan di kawasan perkotaan, karena jadi lebih dekat ke pasar. Jika kami sekarang masih melakukannya di kawasan sekitar mangrove, hanya untuk efektivitas pengembangan pada tahap awal,” pungkas Eko.
Untuk itulah, sambungnya lagi, dalam pengembangan ke depan mereka mungkin akan menempatkannya di kawasan kota.
Tertarik untuk ikut mencoba? Mungkin bisa belajar langsung dari KTH Bakti Nyata. (Yuke)