Jakarta (pewarta.co) – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perhimpunan Jurnalis Siber (PJS) akhirnya angkat suara terkait laporan yang dilayangkan oleh warga masyarakat terkait pemberitaan penyitaan satu unit rumah mewah yang familiar di masyarakat Bireuen dengan sebutan “Gedung Putih yang terletak di Gampong Pulo Kiton, Kecamatan Kota Juang, kabupaten setempat pada Kamis (16/6) oleh Mahkamah Syariah Bireun.
Berita yang telah ditayang melalui media siber ajnn.net tertanggal 16 Juni lalu akhirnya dilaporkan oleh Fatimah Zuhra yang merupakan adik kandung T Saladin dengan menyeret wartawan AJNN, Mulyana Syahriyal ke pihak Polres Bireuen.
Atas laporan itu, Plt Ketua Umum DPP PJS, Mahmud Marhaba mengecam tindakan yang tidak berdasar itu. Mahmud menilai bahwa apa yang dilakukan oleh wartawan sangat kuat dan dilindungi oleh undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
“Wartawan akan bekerja secara professional. Jika sudah mengantongi data yang kuat maka pasti akan dijadikan karya jurnalistik untuk disiarkan. Apalagi itu merupakan sebuah kejadian di lapangan yang dibuktikan foto pegawai Mahkamah Syariah Bereuen didampingi anggota kepolisian saat eksekusi dilakukan. Itulah namanya reportase pandangan mata,” ungkap Mahmud yang juga merupakan ahli pers dari Dewan Pers.
Laporannya ke Dewan Pers Bukan ke Polisi
Masyarakat yang merasa keberatan atas sebuah pemberitaan atau merasa dirugikan oleh hasil karya jurnalistik hendaknya menempuh dengan cara yang elegan dan tepat. Persoalan sengketa hasil karya jurnalistik tidak bisa diselesaikan oleh pihak kepolisian.
“Mekanisme sengketa pers tidak bisa diselesaikan di polisi, itu salah alamat. Masyarakat harus tahu benar bahwa ada acuan yang telah disepakati bersama antara Dewan Pers dan Kepolisian yakni adanya nota kesepahaman Dewan Pers dan Kepolisian RI nomor 03/DP/MoU/III/2022, Nomor NK/4/III/2022 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.,” tegas Plt Ketua Umum PJS itu.
Dirinya mengatakan, pihak kepolsian pun seharusnya berkordinasi dengan Dewan Pers ketika ada masyarakat yang melaporkan terhadap hasil karya jurnalistik atau ketidakpuasan masyarakat atas sebuah pemberitaan.
“Disetiap daerah atau provinsi sudah ada ahli pers dari Dewan Pers. Seyogianya pihak kepolisian melakukan konsultasi dengan mereka sehingga tidak salah langkah yang berakibatkan fatal,” tegas Mahmud ketika dimintai keterangannya, Selasa (19/07/2022) melalui telepon selulernya.
Demikian halnya dengan pemanggilan wartawan oleh pihak kepolisian terhadap laporan masyarakat.
“Jadi, setiap media ada penanggujawabnya. Dialah yang bertanggungjawab atas sebuah produk jurnalistik yang telah ditayang oleh media tersebut. Bukan wartawannya yang dimintai keterangan, melainkan penanggungjawab atau pemimpin redaksi dari media tersebut. Itulah fungsinya seorang pemimpin redaksi atau penanggungjawab. Disini banyak para penyidik keliru menerapkan aturan soal karya jurnalisitik,” tambah Mahmud.
Untuk itu, Plt Ketua Umum PJS meminta agar Kapolda Aceh turun tangan atas laporan masyarakat yang sudah mencederai tugas jurnalistik itu.
“Hendaknya Kapolda segera turun tangan atas kasus ini sehingga tidak mencederai hasil kesepahaman bersama antara Polri dan Dewan Pers. Ini harus menjadi pelajaran bersama bagi insan pers, kepolisian maupun masyarakat. Apalagi saya mendapat laporan jika pihak kepolisian telah menghubungi wartawan AJNN, Mulyana Syahriyal untuk dilakukan pemeriksaan. Parahnya lagi, kepolisian dikabarkan akan mendatangi kantor AJNN di Banda Aceh untuk meminta keterangan di redaksi AJNN. Ini salah besar dan laporan itu wajib ditolak,” tegas Mahmud Marhaba dengan nada kesal.
Mahmud berjanji akan segara menghubungi Kadiv Humas Polri untuk dilakukan evaluasi terhadap kerja anggota Polres Bireuen di Banda Aceh yang menurut dirinya keliru dalam menjalankan aturan yang ada.
“Jangan ada lagi kriminalisasi terhadap wartawan yang bertugas di lapangan,” tutup Mahmud mengakhiri penjelasannya. (red)