Jakarta (pewarta.co) – Pada satu sisi, publik khususnya penggiat anti korupsi, prihatin atas teror yang dialami penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Bawesdan. Sisi lain, juga tak kalah prihatinya atas tak berjalannya penyelidikan suap dan korupsi melibatkan Tengku Erry Nuradi serta istrinya, Evi Diana Sitorus.
Padahal, KPK secara tegas sempat mengatakan tengah membidik pihak lain yang turut menerima uang dari Gubernur Sumatera Utara (Sumut) saat itu, Gatot Pujo Nugroho dalam dugaan suap kepada mantan dan anggota DPRD Provinsi Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2009, terkait pembahasan APBD serta pembatalan pengajuan hak interpelasi.
Pihak yang dimaksud KPK, termasuk istri Tengku Erry, Evi Diana Sitorus selaku anggota DPRD Sumut 2009-2014 dan Ketua DPRD Sumut
saat ini, Wagirin Arman serta lainnya. Apalagi, secara tegas dan terus terang pula, Evi mengaku turut menikmati duits dari Gatot Pujo selaku Gubernur saat itu, guna memuluskan kepentingannya di dewan Sumut. Evi Diana dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor di Medan terkait suap ini, juga mengakui ada menerima ratusan juta rupiah.
Walau, sebagian besar lagi belum disampaikan Ketua DPRD Sumut saat itu, Ajib Shah. Evi Diana terang-terangan di depan majelis hakim, melimpahkan semua ‘dosa’ suap khususnya untuk Fraksi Golkar saat itu, pada Ajib Shah yang notabene musuh politiknya sebab dicampakan Golkar ketika Pilgubsu 2012 hingga posisi Erry Nuradi digantikan Ajib.
“Kita prihatin dan berharap agar pelaku penyiraman soda api pada Novel Bawesdan segera terungkap polisi. Dan saat ini, ikon KPK malah hanya Novel Bawesdan.
Komisioner dan karyawan atau penyidik KPK saat ini sudah berlahan tak diharapkan masyarakat. Soalnya kinerjanya bagai alat politik, seperti kasus Bansos dan suap anggota DPRD Sumut,” kata Mulkan, Sekjen Pergerakan Rakyat Sumatera, di kawasan Cikini, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, sejumlah kasus melibatkan Tengku Erry Nuradi juga mencuat namun sayangnya diduga ‘diendapkan’ KPK dikarenakan tekanan dan dugaan kepentingan politik. Berlahan ‘dienapkan’, diduga diharapkan KPK akan dilupakan publik khususnya masyarakat Sumut.
Adapun kasus demi kasus pasangan suami istri Tengku Erry Nuradi-Evi Diana Sitorus, diantaranya dugaan korupsi DAK non DR Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai), saat Tengku Erry menjabat bupati. Tak hanya itu, juga terus jadi pembicaraan publik di Sumut hingga saat ini, soal kasus dugaan perselingkuhan antara istri Ketua Nasdem Sumut itu dengan salah seorang politisi PDI Perjuangan.
“Masih kita tangani dan dalami,” kata Ketua KPK, Agus Rahardjo, Jumat kemarin, saat diminta tanggapannya soal ‘mengendapnya’ kasus suap DPRD Sumut pada Evi Diana oleh mantan Gubsu, Gatot Pujo Nugroho, dan kasus korupsi Bansos Sumut yang terkait suap pengamanan Kejaksaan Agung dengan hanya Gatot, itri mudanya Evi
Susanty, mantan Kakankesbang Eddy Sofyan, bekas Sekjen Nasdem Patricia Rio Capella dan pengacara OC Kaligis yang diproses hingga divonis.
Memang, Evi Diana mengaku telah mengembalikan sejumlah uang ratusan juta rupiah atas suap oleh Gatot, kepada penyidik KPK. Tapi, pengembalian uang tersebut, juga dibenarkan Ketua KPK Agus rahardjo, tak menghentikan tindak pidana korupsi pada istri Ketua Nasdem Sumut itu.
“Mengembalikan uang itu berbeda, enggak akan menghilangkan tindak pidananya,” tambah Agus.
Diketahui, pemberian suap pada 100 orang lebih anggota dan mantan anggota DPRD Sumut oleh Gatot, terkait persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut tahun 2012-2014, persetujuan perubahan APBD Sumut tahun 2013 dan 2014, pengesahan APBD Sumut tahun 2014 dan 2015, serta penolakan penggunaan hak interpelasi DPRD Provinsi Sumut tahun 2015.
Sebelumnya, KPK menetapkan enam tersangka dalam dugaan suap ini, dan telah divonis hakim serta tengah menjalani masa hukuman.
Keenamnya, yakni mantan Gubsu Gatot Pujo Nugroho, Ketua DPRD Sumut, Ajib Shah, mantan Ketua DPRD Sumut, Saleh Bangun, serta mantan Wakil Ketua DPRD Sumut, Chaidir Ritonga, Kamaludin Harahap, dan Sigit Pramono Asri.
Selain itu, tujuh anggota DPRD Sumut lainnya, yakni M Afan, Budiman Nadapdap dari Fraksi PDIP, Guntur Manurung dari Fraksi Demokrat,
Zulkifli Effendi Siregar dari Fraksi Hanura, Bustami dari Fraksi PPP, serta Parluhutan Siregar dan Zulkifli Husein dari Fraksi PAN.
Sementara diketahui juga, sejumlah kasus yang diduga melibatkan Tengku Erry Nuradi saat menjabat sebagai Bupati Serdang Bedagai dan
berhenti tanpa kejelasan kelanjutan penyelidikan KPK dan penegak hukum lainnya, yakni dugaan korupsi DAK Non DR sebesar Rp 8 miliar
yang gugatan praperadilan oleh masyarakat Sergai dikabulkan hakim Pengadilan Jakarta Selatan untuk dilanjutkan. Juga, dugaan korupsi di
Dinas Pendidikan (Disdik) Sergai terkait rehab sekolah sebesar Rp 2,7 miliar dan alat peraga sekolah senilai Rp 1,1 miliar.
Selain itu, dugaan korupsi penerbitan SPMU sebesar Rp 3,978,393,886, biaya iklan ucapan selamat dan peringatan hari besar pada unit kerja
Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten Sergai Rp 444.801.000. Dana Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) sebesar Rp 2.080.095.657 yang
menyalahi Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kep Mendagri) No.29 tahun 2002 dan Kep Mendagri No.32 tahun 1999. Ada juga korupsi dana Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM) sebesar Rp 5 miliar pada tahun 2010.
Tidak hanya kasus korupsi, isu ketidakmampuan Tengku Erry sebagai kepala keluarga dalam dugaan perselingkuhan istrinya, Evi Diana boru
Sitorus juga sampai kini terus santer terdengar dan bahkan telah sampai ke ‘telinga’ Ibu Negara, Iriana Jokowi saat pesta Danau Toba 2016.
Dan ketika demo yang pernah dilakukan mahasiswa di DPRD Sumut, juga disebutkan pilihan prinsip poligami yang dijalankan Gubernur Gatot Pujo Nugroho saat itu, lebih baik dari sisi agama daripada dugaan perselingkuhan yang diharamkan agama. (red)