Oleh : Edi Irawan
Pendahuluan
Kemajuan peradaban manusia pada saat ini ditandai dengan melesatnya fenomena kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berlangsung hampir di semua sektor kehidupan. Perkembangan teknologi dan globalisasi tidak saja terjadi di negara maju, tetapi juga di negara berkembang. Saat ini teknologi informasi memegang peranan yang penting dalam perkembangan arus informasi.
Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan yang besar bagi negara-negara di dunia. Sejauh ini, pemerintah Indonesia berupaya untuk memberikan dukungan terhadap pengembangan teknologi informasi khusunya pengelolaan informasi dan transaksi elektronik beserta infrastruktur hukum dan pengaturannya. Sehingga kegiatan pemanfaatan teknologi informasi dapat dilakukan secara aman dengan menekan akibat-akibat negatifnya seminimal mungkin.
Misalnya, maraknya penggunaan sarana teknologi informasi untuk menyebarkan informasi yang menimmbulkan rasa kebencian dan permusuhan di media sosial.
Di sisi lain, kebebasan dalam berekspresi merupakan hak mutlak setiap masyarakat Indonesia yang di cantumkan dalam UUD 1945. Negara hukum yang mengutamakan adanya perlindungan HAM bagi warga negara merupakan sarana awal berkembangnya paham demokrasi.
Hal ini disebabkan dijaminnya hak politik membuka kesempatan bagi setiap individu untuk turut serta menyelenggarakan pemerintahan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Indonesia mendeklarasikan ajaran negara hukum secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945), sehingga sebagai sebuah negara hukum terdapat 3 (tiga) persyaratan mutlak yang dipenuhi yaitu pemerintahan yang berdasarkan aturan hukum, adanya pemisahan pada masing-masing bidang kekuasaan negara, serta menjamin perlindungan HAM bagi segenap warga negara.
Sementara teori demokrasi merupakan suatu konsekuensi yang timbul dalam negara berkedaulatan rakyat, dan berkaitan dengan pemenuhan HAM warga negara dalam suatu negara hukum.
Demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi rakyat, sesuai dengan istilah demokrasi yang berarti pemerintahan oleh rakyat.
Menurut Munir Fuady mewujudkan demokrasi dengan partisipasi rakyat bagi suatu negara dengan jumlah wilayah dan penduduk yang besar bukan hal mudah, mengingat beragamnya masalah pada masyarakat.
Oleh karena itu partisipasi rakyat dalam pelaksanaan demokrasi sesungguhnya bertolak belakang dengan stabilitas politik suatu negara, dimana stabilitas politik amat erat kaitannya dengan negara yang totaliter.
Dengan demikian pelaksanaan demokrasi dalam suatu negara terkait dengan adanya partisipasi rakyat perlu dibarengi dengan adanya kesadaran rakyat mengenai pentingnya stabilitas politik guna mempertahakankan keutuhan negara.
Negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat juga merupakan hal yang adanya kesempatan bagi rakyat untuk turut berpartisipasi secara langsung maupun hanya mengawasi jalannya pemerintahan.
Pemberian kesempatan bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dipenuhi dengan pemberian hak atas kebebasan berpendapat di Indonesia, terutama pasca amandemen UUDNRI 1945. Kebebasan berpendapat mewujudkan lahirnya berbagai infrastruktur dalam negara yang berperan mengawasi pemerintahan negara, seperti partai politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya.
Seiring dengan perkembangan teknologi maka kebebasan berpendapat mulai mengalami perubahan terutama dengan maraknya media sosial. Euforia masyarakat dalam menyambut keberadaan dan kebebasan penggunaan media sosial sebagai sarana berekspresi dan berpendapat ternyata menimbulkan masalah ketika hal tersebut bertentangan dengan ajaran hukum dan tidak disertai dengan tanggung jawab atas penggunaan media sosial.
Beberapa contoh pelanggaran kebebasan berpendapat di media sosial adalah dengan mudahnya tersebar konten-konten pornografi, pencemaran nama baik, dan berita-berita bohong (hoax).
Guna memberikan pemahaman dan batasan dalam menggunakan media social, maka pemerintah meregulasikan peraturan-peraturan yang membatasi pelaksaan hak atas kebebasan berpendapat tersebut.
Pembatasan tersebut ditinjau dengan upaya pemenuhan HAM dalam negara hukum merupakan hal yang kontradiktif yang menjadi pokok kajian dalam penelitian ini. Selain itu diuraikan pula mengenai pembatasan-pembatasan tehadap kebebasan berpendapat melalui media sosial di Indonesia.
Pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 terbuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk turut serta dalam pemerintahan, khususnya melalui adanya jaminan kebebasan berpendapat.
Hal ini memberikan euphoria bagi masyarakat untuk menyampaikan apapun pendapatnya dalam berbagai media komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Euforia kebebasan berpendapat semakin dirasakan masyarakat sejak kehadiran internet.
Masyarakat dapat dengan mudah berekspresi dan menyampaikan pendapatnya melalui sarana internet, salah satunya berupa media sosial. Media social telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat dan beberapa kegiatan yang dapat dilakukan masyarakat melalui media sosial yaitu :
1. untuk menyalurkan opini pribadi kepada publik;
2. merupakan sarana untuk menjalankan usaha, sebagai upaya promosi; dan
3. efektif sebagai sarana provokasi dan publikasi.
Relevansi internet dan kebebasan berpendapat menurut Frank William La Rue bahwa internet merupakan media yang mampu menjadi sarana yang penting dalam pemenuhan hak berpendapat dan berekspresi.
Pandangan ini juga didukung oleh Yanuar Nugroho yang menyampaikan bahwa internet memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya, bahkan mendapat respon melalui cara-cara yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Euforia dalam menikmati kebebasan berpendapat tersebut ternyata tidak disertai dengan adanya pemahaman mengenai esensi dari kebebasan berpendapat dan rasa tanggung jawab dalam pelaksanaannya.
Masyarakat hanya fokus pada haknya untuk berpendapat dan lupa akan kewajibannya dalam menggunakan hak berpendapatnya tersebut. Selain itu kelemahan dalam penggunaan media sosial di Indonesia juga disebabkan oleh tidak adanya pemahaman mengenai etika dalam menyampaikan pendapat di media sosial, serta belum adanya ketegasan pemerintah dan penegak hukum terhadap kasus-kasus yang terjadi di media sosial.
PEMBAHASAN
Pesatnya kemajuan di bidang teknologi, komunikasi, dan informasi yang notabene memanfaatkan perangkat komputer, ponsel pintar, dan media lainnya selalu berdampak positif dan negatif.
Saat ini penguasaan informasi dalam jaringan dunia (global network) merupakan suatu keharusan jika kita tidak ingin menjadi objek di dalamnya. Dalam dunia maya (cyberspace) telah terjadi perubahan paradigma, terutama dalam pemanfaatan informasi sebagai suatu aset untuk menguasai dunia.
Banyak hal dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer, informasi, dan komunikasi yang bermuara pada jaringan internet sebagai wujud perpaduan tiga bidang teknologi tersebut.
Keberadaan media sosial yang terkoneksi dengan jaringan internet tidak hanya membawa banyak kemudahan, tetapi juga tantangan. Salah satunya, adalah masalah buruknya etika yang ditampilkan oleh warga dunia maya yang kian meningkat seiring dengan laju penggunaan media berbasis internet.
Misalnya saja penyebaran informasi palsu (hoax) atau bahkan pesan yang bermuatan ujaran kebencian ranah online.
Dilansir dari laman CNN Indonesia, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Surat Edaran itu bernomor: SE/2/11/2021 ditanda tangani langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit pada Jumat, 19 Februari 2021.
Dalam Surat Edaran tersebut, Kapolri mempertimbangkan perkembangan situasi nasional terkait penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.
Bahwa dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan dimaksud, Polri senantiasa mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga dapat menghindari adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif.
Penyidik Polri pun diminta memedomani hal-hal sebagai berikut :
a. mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya
b. memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat
c. mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber
d. dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil
e. sejak penerimaan laporan, agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
f. melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada
g. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
h. terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme
i. korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali
j. penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan
k. agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.
*Penutup
Pemerintah dan Kepolisian bekerja sama dalam melaksanakan kewenangannya untuk menangani berbagai perilaku penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian dan permusuhan (hate speech) sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 harus cermat dan hati-hati dalam melakukan penindakan, tidak menyalahgunakan wewenang, dan seterusnya.
Melalui, Undang- undang tersebut pemrintah setidaknyan dapat menjamin penegakan norma hukum semakin baik.
Sementara itu, sebagai penegak hukum, Kepolisian Republik Indonesia turut serta berkontribusi aktif dalam menangani berbagai kasus ujaran kebencian ini, salahsatunya dengan adanya Surat Edaran Kapolri yang di dalamnya mengatur prosedur penanganan atas terjadinya hate speech tersebut agar tidak menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial yang meluas.
Surat edaran itu juga diletakkan dalam perspektif teoretis dalam hukum administrasi negara. Dalam hukum administrasi negara, pejabat tata usaha negara (termasuk Kapolri) memang diberikan kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum baik yang berupa peraturan (Regeling), keputusan tata usaha negara (Beschikking), maupun peraturan kebijaksanaan.
Peraturan kebijaksanaan berbeda dengan sebuah undangundang atau peraturan karena hanya mengikat secara internal kepada pejabat tata usaha negara sendiri dan tidak ditujukan untuk mengikat secara langsung kepada masyarakat. (red)