Medan (pewarta.co) – Apa yang akan kita rasakan, ketika keluarga, terutama anak kita pergi untuk selamanya? Apalagi proses kepergiannya sangat tragis dan begitu di luar dugaan? Demikian juga yang dirasakan sebuah keluarga dari Kabupaten Toba (sebelumnya Toba Samosir) ini.
Putra mereka, Jose Simangunsong, harus direlakan menghadap Tuhannya, walau dengan seribu tanya dalam pikiran. Kenapa harus pergi?
Bayangkan, Jose yang jago nyanyi itu, masih begitu ceria beberapa saat sebelum menjalani operasi. Tapi usai operasi, keadaannya tak pernah lagi normal, hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia.
Sebagaimana penuturan ayahnya Ultri Simangunsong, Jose divonis mengidap tumor jinak otak (Craniopharingioma). Adanya masalah pada Jose, mulai terdeteksi ketika terlihat salah satu matanya mulai tidak sinkron dengan yang lainnya.
Sempat dibawa ke dokter mata dan diberi terapi. Tapi kondisi matanya makin parah. Hingga akhirnya diputuskan untuk memeriksa lebih intens. Lalu pada Bulan Agustus 2019, dilakukan MRI otak dan Jose didiagnosa menderita Craniopharingioma (tumor jinak otak).
Dan pada proses selanjutnya, keluarga memutuskan untuk operasi ke salah satu rumah sakit di Penang Malaysia.
Pada proses-proses terapi, MRI, hingga persiapan ke Penang, Jose tetap terlihat ceria. Memang dari informasi yang diperoleh, bahwa Craniopharingioma merupakan jenis tumor jinak, yang tidak membahayakan, kalau ditangani dengan tepat.
Usai segala persiapan, Jose Simangunsong pun dibawa ke Penang. Lalu pada tanggal 10 September 2019, di salah satu rumah sakit disana, mereka ditawarkan untuk operasi.
Diinformasikan oleh dokter setempat, bahwa biaya operasi 40 ribu RM (semacam paket operasi). Dokter dimaksud juga menjanjikan kesembuhan dalam waktu 2-3 hari setelah operasi.
Menurut ayah Jose, dokter tersebut sangat yakin bahwa kondisi Jose akan sehat sepenuhnya di rumah sakit itu. Bahkan ketika usulan dokter dari Medan disampaikan, agar dilakukan MRI ulang, dokter di Penang itu mengatakan MRI tidak perlu dilakukan sebelum operasi.
Demikian juga saat ada usulan dokter di Medan, agar dilakukan VP-Shunt, dokter di Penang tersebut juga tidak segera melakukan, Dokter itu mengatakan VP-Shunt akan dilakukan jika diperlukan dalam 2-3 minggu setelah operasi.
Lalu akhirnya pada tanggal 11 September 2019, dilakukanlah operasi.
Lalu, lanjut Ultri Simangunsong, usai operasi, tepatnya tanggal 12 September 2019, pada pukul 01.00 dini hari waktu setempat, Jose sudah kejang-kejang dan terjadi henti napas
Sempat dilakukan pemasangan ventilator untuk alat bantu napas. Kemudian dilakukan CT-Scan kepala. Hasil CT-Scan menunjukkan adanya udara di Intra Cerebral dan adanya Edema Cerebri disertai adanya perdarahan sedikit yang kelihatan dibekas luka operasi.
Demikianlah, kata Ultri, hingga hari-hari selanjutnya, kondisi Jose tidak pernah pulih sebagaimana sebelum masuk meja operasi. Memang, kata ayah Jose, pada tanggal 14 September 2019, dokter menginformasikan, air dalam otak telah ter-sirkulasi dengan baik. Lalu tidak perlu dipasang selang external drainage (dilepaskan).
Lalu disampaikan juga, bahwa dokter tersebut akan cuti mulai tanggal 15 September 2019 selama dua minggu. Rumah sakit juga memberi diskon 40% dengan alasan keluarga telah menghabiskan banyak biaya. Lalu ada dokter pengganti yang ikut serta dalam operasi yang akan menggantikan dokter tersebut selama cuti.
Sementara kondisi Jose tetap tidak ada perkembangan signifikan ke arah perbaikan. Meski demikian, dokter pengganti tersebut tetap menjanjikan bahwa pasien akan selamat. Dan nyatanya, pada tanggal 16 September 2019, dilakukan CT-Scan ulang dan dokter menginformasikan bahwa pasien telah MBO.
Kondisi Jose tidak ada perubahan, hingga akhirnya pada tanggal 26 September 2019, dinyatakan meninggal.
Tentu saja semua keluarga sangat terkejut mendengar berita kematian ini. Keluarga hanya ingat, bahwa sebelum operasi kondisi Jose sangat ceria. Dan dokter selaku pihak rumah sakit juga mengatakan, semua akan baik-baik saja.
“Nyatanya, demikianlah yang terjadi. Usai operasi, kondisi Jose tidak pernah pulih, bahkan akhirnya meninggal dunia. Tidak pernah ada informasi sedikit pun yang diberikan oleh dokter bahwa ada risiko terburuk, yaitu kematian yang harus dihadapi oleh pasien. Makanya kami sangat terkejut,” kata Ultri Simangunsong.
“Jadi, walau berat dan sebenarnya tidak ingin ini jadi terekspos, tapi kami ingin ini menjadi pelajaran bagi semuanya. Kami juga berharap ini menjadi kebangkitan dokter-dokter di Indonesia. Apalagi sudah dapat data banyak pasien bedah syaraf yang kemudian ditangani di RS Siloam Karawaci dan RS dll di Indonesia setelah gagal dari Penang,” masih urainya.
“Biarlah kepahitan yang kami alami ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita dan bangkitnya pelayanan medis di Indonesia. Namun kami percaya Tuhan Yesus punya rencana baik buat setiap perkara dan kami yakini anak kami sudah bersamaNya di Firdaus,” tutup Ultri Simangunsong. (rel)