Medan (Pewarta.co) – Dari sebuah bangunan sederhana yang dulu dipenuhi barang tak terpakai, kini lahir pusat inovasi hijau di Kampus Universitas Sumatera Utara (USU).
Mesin-mesin pengolah sampah berdampingan dengan wadah pembiakan maggot, menjadikan tempat itu, sebuah bangunan dekat Pintu IV Kampus USU, simbol perubahan. Dari limbah menuju sumber daya.
Pada awal Mei lalu, tepatnya Selasa (6/5/2025) lalu, USU bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara meresmikan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), tonggak awal menuju kampus zero waste sekaligus laboratorium hidup untuk riset, edukasi, dan peluang ekonomi baru.
Gubernur Sumatera Utara, Muhammad Bobby Afif Nasution, hadir langsung meninjau dan mengapresiasi fasilitas tersebut. Menurutnya, keberhasilan pengelolaan sampah bukan hanya menjadi beban tanggung jawab pemerintah atau kampus, melainkan menjadi tugas bersama, termasuk masyarakat.
“Dengan nilai ekonomis yang nyata, diharapkan masyarakat dapat lebih termotivasi untuk ikut terlibat. Itu yang harus kita pikirkan langkah-langkahnya,” kata Gubsu.
Lahirnya TPST tak bisa dilepaskan dari keresahan sekelompok dosen dari Program Studi Teknik Lingkungan USU di awal 2024. Zaid Perdana Nasution, ST, MT, Ph.D, ketua Prodi Teknik Lingkungan, mengenang perbincangan sederhana itu.
“Waktu itu kami membahas pengolahan sampah di USU. Ada pengelolaan, tapi belum berbasis keilmuan yang kami miliki. Padahal, kami punya pengetahuan, pengalaman dan teknologi untuk itu,” ujarnya.
Dari diskusi itu lahirlah ide besar untuk membangun TPST yang tak sekadar membersihkan sampah, tapi menjadi laboratorium hidup untuk riset, edukasi, hingga peluang komersialisasi yang sangat benderang.
Proposal pun diajukan ke Rektor USU, Prof Dr Muryanto Amin, SSos, MSi. Respons Prof Muryanto positif sekaligus menantang. Sang rektor meminta agar program TPST tidak berhenti hanya pada pengelolaan teknis, tetapi terintegrasi dengan penelitian lintas disiplin, yang memungkinkan tumbuhnya potensi komersialisasi yang nantinya akan menghidupi TPST secara mandiri.
Langkah awal untuk pilot project dilakukan di 4 fakultas, yakni fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, fakultas teknik, fakultas kedokteran dan fakultas psikologi, serta biro rektor. Tempat sampah tiga serangkai dengan tiga warna mencolok (merah, kuning, hijau) dipasang di titik-titik strategis untuk pemilahan awal sampah organik, anorganik, dan residu/bahan berbahaya dan beracun.
Alur pengelolaan pun dirancang ketat, yang dimulai dari pengangkutan sesuai jenis, pemilahan, pencacahan, lalu diolah menjadi produk-produk bernilai.
Sampah plastik diproses melalui pirolisis menjadi solar dan bensin. Sampah organik, termasuk daun dan ranting, diubah menjadi kompos atau Refuse-Derived Fuel (RDF). Sementara sisa makanan, diolah menjadi pakan maggot (larva lalat Black Soldier Fly) yang kemudian menjadi “aktor utama” dalam siklus ini.
Di balik ruang TPST, Zaid memperlihatkan sekotak besar maggot yang menyelimuti dan rakus melahap sisa makanan. Pemandangan yang bagi sebagian orang menjijikkan, justru menyimpan harapan besar.
“Maggot ini pengurai ulung, sekaligus sumber protein. Setelah dewasa, bisa dijual untuk pakan ayam, bebek, hingga ikan. Produk turunan seperti tepung maggot atau pelet pakan sangat diminati, bahkan pasarnya sudah tembus internasional,” jelas Zaid.
Harga maggot pun diklaim cukup menggiurkan. Maggot basah dijual Rp5.000–10.000 per kilo, maggot kering Rp75.000/kg, dan kualitas ekspor bisa menembus Rp100.000/kg.
Dari tiga kilo maggot basah, dapat dihasilkan satu kilo maggot kering. Di luar negeri, tren konsumsi maggot untuk pangan manusia bahkan mulai tumbuh, menjadikannya “emas putih” bernilai tinggi.
Fasilitas TPST USU kini dilengkapi conveyor belt, mesin cacah plastik, mesin pengering maggot, hingga mesin pelet pakan. Semua ini mendukung konsep circular economy: sampah bukan lagi limbah, melainkan sumber daya baru.
Kepala Humas USU, Amalia Meutia, M.Psi., menyebut konsep ini memang belum berbentuk bank sampah berbasis tabungan, tetapi sudah sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular.
“Ke depan, kami akan menjajaki model insentif agar mahasiswa dan masyarakat sekitar lebih aktif berpartisipasi,” ujarnya.
Dari Kampus untuk Bumi
Bagi Zaid, TPST lebih strategis dibanding Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Lahan yang dibutuhkan lebih kecil, biaya operasional lebih rendah, dan hasilnya lebih produktif. Namun lebih dari itu, TPST juga multifungsi sebagai ruang riset, edukasi, dan kolaborasi.
Mahasiswa dari berbagai prodi kini bebas belajar langsung di TPST. Ada yang meneliti kualitas maggot, mengembangkan sistem digital, hingga membuat game edukasi persampahan.
“Pak Rektor ingin TPST ini jadi unit penelitian, pengabdian, sekaligus komersialisasi. Kami terbuka untuk kerja sama dengan pemerintah daerah, BUMN, UMKM, maupun kampus lain dalam pengembangannya ke depan,” kata Zaid optimis.
Meski baru berusia muda, ambisi TPST USU cukup besar: menjadi percontohan nasional dalam pengelolaan sampah perguruan tinggi, bahkan skala kecamatan dan kota. Dari balik deru mesin conveyor dan aroma khas kompos, tersimpan mimpi besar: mengubah sampah menjadi sumber daya, sekaligus menopang ketahanan pangan organik.
“Kalau kita konsisten, bukan cuma nol sampah yang bisa tercapai, tapi juga ketahanan pangan organik dan peluang ekonomi yang nyata,” ujar Zaid.
Gerakan ini mungkin lahir dari sebuah obrolan kecil di ruang dosen, tetapi kini telah tumbuh menjadi laboratorium hidup yang menyatukan riset, teknologi, ekonomi, dan gaya hidup baru. Di tengah riuh mesin pencacah plastik dan kesibukan maggot yang tak pernah berhenti bekerja, terselip sebuah pesan sederhana: bumi hanya akan pulih bila manusia mau merawatnya.
Dari kampus yang dahulu hanya memandang sampah sebagai sisa-sisa konsumsi, kini lahir sebuah gerakan yang melihatnya sebagai sumber kehidupan baru. Mungkin seperti cinta, yang kadang hadir dari hal-hal kecil dan tak terduga; maka pengelolaan sampah di USU pun tumbuh dari percakapan ringan, lalu menjelma tekad besar yang memberi harapan.
Jika maggot saja bisa mengubah sisa konsumsi menjadi nutrisi, bukankah manusia juga bisa mengubah masalah menjadi peluang. Dari ruang lengang TPST USU, mengudara sebuah pesan dan janji untuk bumi yang lebih bersih, hijau, dan kehidupan yang penuh harapan. (gusti)