Kwala Serapuh (pewarta.co) – Untuk mencegah abrasi yang terus menggerus Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Kelompok Tani (Poktan) Nipah gencar melakukan penanaman Mangrove dan Nipah di beberapa titik tempat yang rentan terkena dampak dari terjangan ombak laut ke bibir pantai desa itu, Sabtu (28/2) Sekira jam 14.30 WIB.
Poktan yang diketuai Syamsul Bahri (53) itu, dengan penuh semangat melakukan rehabilitasi dan restorasi (mengembalikan) fungsi hutan sebagaimana mestinya. “Secara alami, hutanlah yang mampu mencegah abrasi. Jadi, kami harus mengembalikan fungsi hutan ini dengan menghijaukannya kembali,” kata Samsul, Senin (1/3) pagi.
Bersama LBH Medan, Yayasan Srikandi Lestari dan beberapa awak media, Poktan Nipah dengan penuh semangat melakukan penanaman mangrove. Dimulai dari pengambilan bibit, penanaman hingga meninjau Pantai Desa Kwala Serapuh yang terkena abrasi. “Mangrove dan nipah inilah nantinya yang bisa jadi benteng penahan abrasi,” ungkap Samsul.
#Dua Meter per Tahun
Kepala Desa Kwala Serapuh Hasanuddin menjelaskan, setiap tahunnya, sisi Utara Desa Kwala Serapuh yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka, selalu saja mengalami abrasi sekira dua meter per tahunnya. “Garis pantainya lebih kurang lima kilometer. Tiap tahun terkikis ombak,” kata Hasan.
Kehadiran Poktan Nipah sangat membantu negara, yakni Pemerintah Desa Kwala Serapuh, khususnya dalam hal menjaga dan melestarikan hutan. “Kalau bisa, bermunculan poktan lainnya seperti Poktan Nipah, agar bisa bersama-sama menjaga dan melestarikan hutan demi keseimbangan ekosistem,” pungkas Hasan.
#Alih Fungsi Lahan
Pantauan di lapangan, sebahagian besar lahan hutah Desa Kwala Serapuh sudah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan areal pertambakan. Bankan, ada beberapa tambak yang letaknya persis di garis bibir pantai yang sudah mengalami abrasi parah.
Sementara, pada 17 November 2011 silam, Bupati Langkat H Ngogesa Sitepu telah mengeluarkan SE No 522-2849/Pem/2011, perihal penghentian aktifitas alih fungsi di Wilayah Pesisir Kabupaten Langkat (Standpassing), dengan cara mengeluarkan alata berat (bechoe), mengembalikan vegetasi mangrove yang telah rusak, serta membuka paluh alam yang ditutup, sehingga bisa berfungsi kemvali.
Ironisnya, Surat Edaran Bupati Langkat itu terkesan diabaikan. Para perambah hutan seolah tak perduli dengan kerusakan lingkungan. Bahkan, tak jarang sebahagian dari mereka justru mengintimidasi masyarakat yang ingin mengembalikan fungsi hutan.
#Deforestasi Hutan
Direktur Yayasan Srikandi Lestari Sumiati Surbakti mengatakan, hilangnya hutan akibat ulah kegiatan manusia (deforestasi hutan) hingga kini masih berlangsung di Pantai Timur Langkat. “Hal itu gak bisa dibiarkan. Kita harus berperan dalam pengendalian perubahan iklim dengan melakukan rehabilitasi manggrove secara konsisten,” kata Mimi.
Kejayaan pesisir Pantai Timur Langkat yang kaya akan biota laut dan Blue Carbon untuk menghindari abrasi harus dikembalikan sebagaimana mestinya. Sehingga, kehancuran peradaban tanah Melayu di masa mendatang bisa segera terselamatkan. “Kehidupan manusia dan hutan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Perjuangan ini tidak akan terhenti, meski keserakahan oligarki selalu mengincar tanah kami,” pungkasnya.
Kadiv SDM LBH Medan M Ali Nafiah Matondang SH MHum mengatakan, proses hukum yang dihadapi oleh Ketua dan anggota Poktan Nipah ternyata tidak menyurutkan semangat poktan itu untuk memulihkan fungsi kawasan hutan yang selama ini mereka rehabilitasi.
“Semangat mereka semakin bertambah setelah mendengar pernyataan Kadishut Provsu, yang menyatakan akan menindak tegas oknum pemilik kebun kelapa sawit ilegal, jika tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan lahan yang sah, setelah 7 hari dari pertemuan di Dishut Provsu pada 16 Februari 2021 kemarin,” kata Ali.
Hal itu menunjukan adanya perlindungan hukum dari negara, bagi Poktan Nipah dalam melaksanakan sebahagian tugas negara untuk melestarikan dan melindungi Kawasan hutan, demi mewujudkan kesejahteraan serta lingkungan yang baik dan sehat bagi masyarakat, khususnya di Desa Kwala Serapuh Kabupaten Langkat.
“Harusnya, penyanderaan hak asasi yang dihadapi oleh Syamsul dan Samsir dalam permasalahan hukum ini, menjadi kritikan pedas bagi para pemangku kepentingan, atas abainya mereka terhadap para penjuang lingkungan hidup. Dengan harapan tidak ada lagi Kriminalisasi terhadap Syamsul dan Samsir lainnya,” pungkas Ali. (avid/red)