Medan (Pewarta.co)-Tata kelola pelabuhan di kawasan Danau Toba selama ini tidak sesuai ketentuan dan aturan tentang pelayaran maupun kepelabuhanan.
Fungsi pembinaan yang seharusnya dilakukan pemerintah, juga tidak berjalan sebagaimana diamanahkan peraturan perundang-undangan.
“Kondisi inilah yang memberi kontribusi besar terhadap berulangnya musibah tenggelamnya kapal di danau vulkanik terbesar dunia itu hingga menelan ratusan korban jiwa,” kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Sumut Abyadi Siregar, Selasa (26/6/2018) di Medan.
Penjelasan ini merupakan kesimpulan hasil investigas Ombudsman RI Perwakilan Sumut selama empat hari di kawasan Danau Toba.
Ombudsman RI Perwakilan Sumut melakukan investigasi tata kelola pelabuhan di kawasan Danau Toba, sehubungan tragedi tenggelamnya KM Sinar Bangun, 18 Juni lalu.
Abyadi Siregar yang didampingi Asisten Ombudsman RI Perwakilan Sumut Achir Nauli Gading Harahap menjelaskan, sebenarnya Indonesia memiliki banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sistem pelayaran maupun kepelabuhanan.
Misalnya Permenhub No 58 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sungai dan Danau, UU No 17 tanun 2008 tentang Pelayaran, PP No 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, Permenhub No 34 tahun 2012 tentang Tatakerja Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabunan, dan sebagainya.
Dalam berbagai ketentuan dan peraturan tersebut, ditegaskan bahwa kegiatan pemerintah di pelabuhan adalah untuk mengatur, membina, mengendalikan dan mengawasi kegiatan kepelabuhanan.
Selain itu, juga untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.
Untuk tugas pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan adalah tanggungjawab pihak Otoritas Jasa Kepelabuhanan atau Unit Pelayanan Kepelabuhanan. Sedang untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran merupakan tanggungjawab Kesyahbandaran.
Nah, persoalannya, lanjut Abyadi, inilah yang tidak dilaksanakan selama ini.
Lihatlah misalnya terkait soal Kesyahbandaran yang sampai saat ini justru belum ada didirikan di kawasan Danau Toba.
Padahal, bila dilihat dari tugas dan fungsinya, peran Kesyahbandaran ini begitu sangat penting keberadaannya dalam sebuah pengelolaan pelabuhan.
Dalam UU No 17 tahun 2008 dan PP No 61 tahun 2009 dijelaskan bahwa, Syahbandar merupakan pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.
Untuk melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan misalnya, Syahbandar mempunyai tugas mengawasi kelaiklautan kapal, keselamatan, keamanan dan ketertiban di pelabuhan.
Kemudian mengawasi tertib lalu lintas kapal, mengawasi kegiatan alih muat di perairan pelabuhan. Syahbandar juga berwenang mengkoordinasikan seluruh kegiatan pemerintah di pelabuhan, menerbitkan persetujuan kegiatan kapal di pelabuhan, menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB), melakukan pemeriksaan kapal, dan sebagainya.
“Begitu penting peran Kesyahbandaran di pelabuhan. Terlebih di kawasan perairan Danau Toba yang begitu luas, meliputi tujuh kabupaten di Sumut dan setiap hari diseberangi ribuan penduduk melalui berbagai jenis kapal. Tapi sampai saat ini, Menteri Perhubungan belum mendirikan Kesyahbandaran di kawasan Danau Toba. Saya kira, ini kelalaian pemerintah,” tegas Abyadi.
Diserahkan ke Daerah
Karena ketiadaan Kesyahbandaran di kawasan Danau Toba itu, akhirnya fungsi Kesyahbandaran diserahkan kepada pemerintah daerah.
Memang, penyerahan kewenangan ini didasari sejumlah peraturan.
Misalnya ada Permenhub No 58 tahun 2007 dan sejumlah aturan lainnya.
Tapi faktanya, implementasinya di lapangan tidak semudah yang dibayangkan.
Pemerintah daerah malah bingung melaksanakan ketentuan tersebut.
“Dari hasil keterangan yang kita himpun, pemerintah daerah bahkan merasa tidak memiliki kompetensi melaksanakan beberapa peran Kesyahbandaran yang diserahkan ke pemerintah daerah. Seperti pemeriksaan kapal, pemberian Surat izin Berlayar (SIB) dan Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Sebab, Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah tidak memiliki kompetensi dan sertifikat untuk melakukannya. Sementara selama ini, SDM di daerah tidak pernah mendapat pelatihan atau pendidikan terkait hal tersebut,” sebut Abyadi.
Konkretnya, tegas Abyadi Siregar, sumber masalah yang menjadi penyebab berulangnya tragedi kemanusiaan di perairan Danau Toba selama ini adalah karena tata kelola pelabuhan tidak sesuai aturan.
Kalau saja pengelolaan pelabuhan di kawasan Danau Toba itu dilakukan sesuai aturan, setidaknya akan bisa menekan angka tenggelamnya kapal di perairan Danau Toba.
“Dengan pengawasan yang ketat, maka tidak akan terjadi over kapasitas muatan kapal, baik muatan orang maupun muatan barang kapal di kawasan Danau Toba. Karena akan ada pengaturan tiketing penumpang, akan ada kontroling muatan kapal. Akan ada juga pengawasan kelaiklautan kapal. Begitu juga, kapal akan melengkapi sistem keselamatan seperti pelampung dan life jacket. Tapi itulah yang tidak pernah diawasi. Sehingga semua kapal yang beroperasi di perairan Danau Toba tanpa kontroling yang jelas. Bahkan sampai sekarang belum ada pengawasan yang ketat,” tegas Abyadi.
Karena itu, Ombudsman RI Perwakilan Sumut meminta agar ke depan pemerintah, baik pemerintah pusat, provinsi dan seluruh pemerintah kabupaten di kawasan Danau Toba agar tidak lagi mengabaikan tata kelola pelabuhan di kawasan Danau Toba.
“Bila kita tidak ingin kasus tenggelamnya kapal di perairan Danau Toba terulang kembali, maka pemerintah harus segera bertindak cepat. Jangan mengulur-ulur waktu lagi,” tegas Abyadi Siregar (rks)