Banda Aceh (pewarta.co) – Dr Taqwaddin, Dosen Magister Ilmu Kebencanan pada Universitas Syiah Kuala (USK) yang juga Hakim Tinggi Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi menyampaikan materi Strategi Adaptasi dan Mitigasi Bencana bagi Masyarakat Pesisir. Materi tersebut disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana berbasis Komunitas XVI 2024 di Hotel PMI Banda Aceh, Jumat 4 Oktober 2024.
Acara yang diselenggarakan oleh MPBI (Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia) yang dihadiri oleh 200-an peserta dari seluruh Indonesia baik secara online maupun offline.
Dalam paparannya, Taqwaddin mengemukakan 4 (empat) strategi untuk mengantisipasi menghadapi bencana berdasarkan pengalaman pasca bencana gempa dahsyat dan tsunami Aceh, yaitu:
Pertama Strategi sosial pendidikan, yaitu perlu adanya pewarisan budaya tangguh menghadapi bencana yang senyatanya telah ada pada setiap masyarakat.
Hal lain dalam strategi ini perlu juga dilaksanakan pendidikan tangguh bencana sejak masa masa kanak-kanak hingga dewasa.
Selain itu, perlu juga dilakukan penguatan pemahaman keimanan dan agama sehingga semua warga masyarakat yang tertimpa bencana memiliki ketahanan spiritual. Hal ini sudah terbukti bahwa karena korban tsunami yang telah menewaskan lebih dari dua ratus ribu nyawa dan meluluhlantakkan begitu banyak harta benda baik yang milik pribadi maupun publik, tapi faktanya tak ada seorang pun korban bencana di Aceh yang depresi, apalagi bunuh diri. Beda sekali dengan apa yang saya lihat di luar negeri. Ini bukti ketangguhan spritual warga Aceh yang perlu ditiru. Ujar Taqwaddin, yang juga mantan Kordinator Muhammadiyah untuk Penanggulangan Bencana (MDMC) Aceh.
Kedua, Strategi Ekonomi. Dalam strategi ini, Taqwaddin menguraikan, pentingnya pengembalian kemampuan ekonomi para korban bencana. Untuk memulihkan kondisi ekonomi korban bencana, pengalaman kami dulu membuat program cash for work, yaitu warga korban bencana digerakkan untuk bekerja membersihkan lahan pekarangan rumah mereka dan lalu sorenya diberikan uang, walaupun sebetulnya semua kebutuhan konsumsi mereka sudah dibantu oleh banyak donor.
Selanjutnya, selain program cash for work dan livelihood. Diperlukan juga program pelatihan kewirausahaan, persoalan, dan akses pemasaran terhadap hasil produk rumah tangga di daerah bencana.
Ketiga, strategi fisik. Pada strategi ini, diperlukan rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas publik dan bantuan rumah untuk korban bencana. Di beberapa area bencana yang tidak mungkin lagi untuk dijadikan sebagai pemukiman, maka harus dilakukan upaya relokasi semua warga masyarakat korban bencana ke area pemukiman baru seperti yang terjadi di Leupung dan di Neuheun Aceh Besar.
Dalam kaitan dengan kebencanaan, perlu juga ada penataan kembali pola tata ruang baru yang menyesuaikan dengan zonasi bencana.
Selain ketiga strategi di atas, Taqwaddin yang saat ini sebagai Ketua MPW Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Provinsi Aceh, juga menambahkan strategi keempat, yaitu diperlukan dukungan masyarakat luar untuk membantu warga masyarakat korban bencana. Masyarakat luar yang saya maksudkan adalah masyarakat luar daerah, masyarakat nasional dan internasional. Hal lain yang juga sangat diperlukan untuk mempercepat rehabilitasi rekonstruksi pasca bencana adalah adanya dukungan pemerintah dengan segala regulasi dan kebijakannya.
Mengakhiri paparannya, dalam rangka memperingati 20 tahun bencana Tsunami Aceh, Taqwaddin menyarankan kepada akademisi dan aktivis kebencanaan untuk melakukan kajian evaluasi terhadap strategi-strategi yang telah dilakukan berdasarkan pengalaman di Aceh, sehingga diketahui strategi mana yang layak diikuti menjadi model dan mana yang tidak patut ditiru.
Demikian pungkas Taqwaddin yang dekat dengan para akademisi dan aktivis LSM. (Red)