Medan (pewarta.co) – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memutuskan adanya kesepakatan penetapan harga pada penyediaan jasa depo peti kemas oleh tiga Terlapor penyedia jasa di Pelabuhan Panjang, Lampung. Kesepakatan tersebut berlangsung lebih kurang selama tujuh bulan sejak Mei 2022 sampai dengan November 2022.
Dalam Putusan, KPPU tidak menjatuhkan sanksi denda kepada Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor III dengan beberapa pertimbangan, antara lain memperhatikan kelangsungan kegiatan usaha karena adanya kerugian dialami para Terlapor, harga yang tidak berubah sejak tahun
2013 hingga Perkara a quo diputus, dan adanya Terlapor yang keluar dari pasar dengan cara menutup cabang.
Melalui siaran pers dilansir Pewarta.co, Rabu (2/10/2024) disampaikan Deswin Nur, Kepala Biro
Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU, diketahui Majelis Komisi tetap menjatuhkan sanksi lain, berupa Perintah kepada PT
Java Sarana Mitra Sejati (Terlapor I) dan PT Masaji Tatanan Kontainer Indonesia (Terlapor II).
Sedangkan dua pelaku yang masih melakukan kegiatan di Pelabuhan Panjang, untuk tidak melakukan perjanjian penetapan harga penyediaan jasa depo peti kemas di wilayah tersebut. Putusan atas Perkara No. 20/KPPU-I/2023 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (UU No.5/1999) terkait Kesepakatan Tarif Penyediaan Jasa Depo Peti
Kemas di Pelabuhan Panjang Lampung tersebut, dibacakan Majelis Komisi pada 30
September 2024, di Kantor Pusat KPPU Jakarta.
Hadir memimpin jalannya sidang pembacaan
Putusan tersebut, Anggota KPPU Mohammad Reza sebagai Ketua Majelis Komisi, didampingi
Anggota KPPU Hilman Pujana dan Eugenia Mardanugraha selaku Anggota Majelis Komisi.
Perkara ini bersumber dari inisiatif KPPU dan melibatkan 4 (empat) Terlapor, yakni PT
Java Sarana Mitra Sejati (Terlapor I), PT Masaji Tatanan Kontainer Indonesia (Terlapor II), PT
Citra Prima Container (Terlapor III), dan PT Triem Daya Terminal (Terlapor IV).
Keempat Terlapor merupakan pelaku usaha yang menyediakan jasa layanan penyediaan depo peti kemas di Pelabuhan Panjang, Lampung. KPPU menduga telah terjadi pelanggaran Pasal 5
(penetapan harga) melalui penetapan tarif batas atas dan batas bawah bagi jasa depo peti kemas dilakukan pelaku usaha tergabung dalam Asosiasi Depo Kontainer Indonesia (ASDEKI) DPW Lampung.
Penetapan tarif tersebut dilakukan melalui Surat Nomor 007/ASDEKI-LPG/III/2022 tentang Pemberlakuan Penyesuaian Tarif Batas Atas. Kesepakatan tersebut dilaksanakan Anggota ASDEKI DPW Lampung, yakni Terlapor I, Terlapor II,
Terlapor III, dan Terlapor IV.
Keempat Terlapor tersebut dinilai mewakili seluruh pangsa pasar penyediaan jasa depo peti kemas di Pelabuhan Panjang, Lampung pada tahun 2022.
Dalam persidangan, Majelis Komisi menemukan fakta bahwa pelaksanaan
kesepakatan tarif tidak berjalan baik karena posisi tawar penyedia jasa yang lemah terhadap
perusahaan pelayaran (pemilik peti kemas) dalam hal negosiasi sebagai bisnis penunjang
penyelenggaraan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan di Pelabuhan Panjang. Terlebih di pasar depo peti kemas di Lampung, frekuensi barang ekspor lebih tinggi daripada
barang impor sehingga menimbulkan seringnya reposisi peti kemas dari tempat lain.
Majelis Komisi menilai pembentukan tarif pelayanan usaha jasa depo peti kemas didasarkan atas
kesepakatan penyedia jasa dan pengguna jasa. Jadi merujuk pada persaingan tarif antar pelaku usaha yang saling bersaing di pasar bersangkutan.
Meski demikian, Majelis Komisi menemukan adanya serangkaian pertemuan dan rapat antar Terlapor yang terjadi pada kurun waktu sebelum terbitnya Surat Nomor 007/ASDEKILPG/III/2022 tentang Pemberlakuan Penyesuaian Tarif Batas Atas. Paska surat tersebut,
terdapat penyesuaian tarif penyediaan jasa depo peti kemas di Pelabuhan Panjang oleh Para Terlapor, yang menunjukkan adanya kesepakatan antar mereka.
Majelis Komisi menilai
kesepakatan tersebut ditujukan guna mempertahankan eksistensi Para Terlapor dalam industri depo peti kemas.
Dalam praktik, paska penetapan harga melalui ASDEKI, Terlapor III dan Terlapor IV justru keluar dari pasar karena tidak mampu memperoleh keuntungan dari kesepakatan harga
tesebut. Sedangkan Terlapor I dan Terlapor II masih bertahan karena bagian dari komitmennya dengan konsumen.
Para Terlapor dinilai tidak mampu mempertahankan
kesepakatan tarif tersebut, karena tingginya permintaan refund dari konsumen yang cukup
tinggi dan harus dipenuhi untuk bisa bertahan di pasar karena kuatnya daya tawar pengguna jasa (konsumen). Dalam hal tersebut, Majelis Komisi menilai kesepakatan tarif yang dibuat tidak memberikan dampak yang tidak signifikan terhadap persaingan usaha.
Berdasarkan fakta, penilaian, analisis, dan kesimpulan di persidangan, Majelis Komisi
memutuskan bahwa Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sementara Terlapor
IV diputuskan tidak terbukti melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Atas pelanggaran tersebut, Majelis Komisi menjatuhkan sanksi berupa Perintah kepada Terlapor I
dan Terlapor II, pelaku usaha yang masih melakukan kegiatan di Pelabuhan Panjang, untuk
tidak melakukan perjanjian penetapan harga penyediaan jasa depo peti kemas.
Lebih lanjut, dengan tidak adanya perubahan harga atau tarif penyediaan jasa depo peti kemas sejak tahun 2013 hingga saat ini, fakta keluarnya Terlapor III dan Terlapor IV dari pasar dengan menutup cabangnya, dan memperhatikan kelangsungan kegiatan usaha Terlapor, Majelis Komisi menilai bahwa tidak terdapat alasan yang cukup untuk menjatuhkan sanksi berupa denda
admisnistratif kepada para Terlapor.
Lebih lanjut, merujuk pada Pasal 131 Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 59 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan, Majelis Komisi memberikan rekomendasi kepada Komisi untuk memberikan saran dan pertimbangan
kepada Menteri Perhubungan RI untuk menerbitkan pedoman penghitungan tarif depo peti
kemas guna mencegah pemanfaatan kekosongan aturan oleh pelaku usaha. (gusti/red)