Medan (Pewarta.co) – Kongres VI Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (Hapsari) berlangsung di Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai pada Kamis – Sabtu (24-26/8/2023) memilih Asriyani sebagai Ketua untuk periode 2023-2028.
Asriani yang terpilih sebagai ketua menggantikan posisi Lely Zailani, sementara untuk sekretaris terpilih Istuti Leli Lubis dan Suindrawati sebagai bendahara.
Acara dihadiri sekira 50-an anggota dari berbagai daerah di Sumatera Utara itu berlangsung haru ketika Hairani Siregar, Dewan Ahli Bidang Kessos dan Hapsari beberkan kisah dirinya bergabung dengan Hapsari saat pertama kalinya.
“Dengan prinsip persaudaraan sesama perempuan ayo kita bergerak dan mengubah. Membentuk kelompok pakar dan tim ahli yang mempunyanyi disiplin ilmu dari pengalaman atau praktisi, yang telah bekerja puluhan tahun di bidangnya,” ajaknya.
Sedangkan Lely Zailani menjelaskan, Himpunan Serikat Perempuan Indonesia adalah organisasi perempuan independen yang berbasis keanggotaan.
Keanggotaannya terdiri dari komunitas-komunitas perempuan akar rumput yang mengalami pemiskinan, diskriminasi dan kekerasan oleh system secara structural maupun kultural dan perempuan yang peduli akan hal itu.
“Mereka itulah yang dilayani Hapsari untuk mendapat manfaat program, khususnya dalam mengakses peningkatan kapasitas dan mengakses sumber daya,” katanya.
Ia mengatakan, Hapsari dibangun dan dibesarkan oleh aktivitas diri anggotanya.
“Selama ini, seluruh energi dan aksi Hapsari didasarkan pada komitmen sukarela perempuan akar rumput yang menjadi anggota dan pengurus di komunitas,” ungkapnya.
Inilah karakteristik unik yang juga tercermin dalam sifat bottom-up organisasi yakni dalam bentuk jaringan antar komunitas perempuan yang otonom dan bahwa kepemimpinan terdiri dari perempuan akar rumput itu sendiri.
Cikal bakal Hapsari dimulai pada 1990 dengan kegiatan Sanggar Belajar Anak bernama “Harapan Desa Sukasari”yang kemudian menjadi akronim Hapsari dan dinotariskan menjadi Yayasan pada 1997.
Sebagaimana nasib mayoritas rakyat dan perempuan Indonesia waktu itu, Hapsari lahir dari warisan rejim orde baru dan penghancuran organisasi perempuan independen kala itu yang kemudian digantikan dengan paham ibuisme negara sebagaimana disebutkan oleh Julia Suryakusuma.
Suatu paham yang merupakan perkawinan antara feodalisme dan kapitalisme, dimana negara mengkonstruksikan perempuan sebagai pelaku pekerjaan domestik dan menjadikannya angkatan kerja kapitalisme yang tidak dibayar. Karena “di rumah saja, hanya membantu suami mengurus rumah”.
Hapsari memulai pengorganisasian dengan prinsip “persaudaraan sesama perempuan” (sisterhood) yang terkandung di dalamnya prinsip dan nilai solidaritas serta kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang dialami oleh perempuan.
Hingga saat ini Hapsari terus merawat semangat sisterhood untuk terus bergerak dan mengubah, karena situasi sosial dan tradisi patriarki masih sangat kuat. (gusti/red)