Medan (pewarta.co) – Palo Alto Networks (NYSE: PANW), pemimpin di bidang keamanan siber global, hari ini mengumumkan hasil studi terbaru yang mengkaji perilaku dunia bisnis di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Singapura, Filipina, dan Thailand, terhadap keamanan siber.
Dari hasil survei dilaksanakan pada awal Februari 2020 sebelum pandemi COVID-19 tereskalasi secara global ini, terlihat adanya konsistensi kenaikan nilai investasi keamanan siber di negara-negara yang menjadi subjek penelitian.
“Indonesia menjadi negara dengan jumlah kenaikan nilai investasi terbesar di antara negara-negara lainnya yang disurvei,” sebut Surung Sinamo, country manager, Indonesia, Palo Alto Networks, dalam keterangan tertulis diterima pewarta.co, Kamis (16/7/2020).
Meski telah melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan keamanan siber, hampir setengah (44%) dari perusahaan yang disurvei mengatakan mereka tetap merasa tidak yakin apakah investasi mereka telah memberikan proteksi yang diperlukan.
Diungkapkannya, melihat banyaknya upaya pembobolan dan serangan siber yang terjadi di Indonesia pada tahun 2018 dan 2019, tidak mengejutkan apabila temuan dari survei menunjukkan 4 dari 5 perusahaan (84%) menyatakan telah meningkatkan anggaran mereka untuk keamanan siber pada kurun waktu tersebut (sebelum terjadinya pandemi COVID-19). Persentase tersebut (84%) menjadi yang terbesar di antara negara-negara lain yang disurvei.
“Faktanya, 44% perusahaan yang disurvei menyatakan bahwa mereka telah mendedikasikan lebih dari setengah anggaran TI mereka untuk keamanan siber sebagai bentuk respons atas meningkatnya volume maupun kecanggihan serangan siber,” katanya.
Menurutnya, fakta ini mencerminkan adanya peningkatan kesadaran perusahaan-perusahaan terhadap perpetaan ancaman keamanan siber di kawasan regional.
“Sangat antusias melihat makin tingginya kesadaran perusahaan-perusahaan di Indonesia terhadap keamanan siber. Mereka makin sadar pentingnya mencegah dan menggagalkan serangan siber yang berpotensi mengganggu bisnis, seperti yang telah kita lihat dalam beberapa tahun terakhir,” kata Surung.
Namun, lanjutnya, sehubungan dengan terjadinya pandemi COVID-19, saat ini bisnis perlu untuk menavigasi risiko-risiko baru yang ditemukan akibat kerja jarak jauh atau munculnya ancaman-ancaman baru yang memanfaatkan situasi COVID-19.
Dia menjelaskan, peranti-peranti dasar seperti anti-malware dan antivirus (76%) dilaporkan sebagai solusi paling populer di kalangan perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Perilaku ini didorong oleh sangat kuatnya persepsi yang terbangun di Indonesia tentang seputar bahayanya malware. Namun, berdasarkan pengamatan, prioritas beralih ke arah pengamanan deployment cloud, dan ini dibuktikan dengan adopsi cloud native security platforms (61%), software-defined wide area networking (56%), dan next-generation firewalls (51%).
Perusahaan-perusahaan Indonesia juga menunjukkan komitmennya yang jelas untuk meningkatkan visibilitas ketika menyangkut penanganan risiko-risiko keamanan siber.
Disebutkannya, sebagian besar (92%) perusahaan melaporkan melakukan peninjauan terhadap kebijakan keamanan siber dan prosedur operasi standar mereka setidaknya sekali dalam setahun.
Dia meyakini perusahaan Indonesia memiliki advokasi yang kuat untuk transparansi dengan 92% mendukung pelaporan pelanggaran wajib.
Sebagian besar perusahaan (83%) juga melakukan pemeriksaan terhadap komputer-komputer setidaknya sekali dalam sebulan untuk memastikan peranti lunak pada komputer-komputer tersebut masih up to date.
“Faktor manusia masih menjadi faktor krusial dalam keamanan siber,” ujarnya.
Meskipun investasi awal meningkat, hanya 52% dari perusahaan-perusahaan Indonesia yang disurvei yakin dan percaya diri dengan langkah-langkah keamanan mereka. Walaupun perusahaan telah menunjukkan komitmen terhadap keamanan siber serta meningkatkan anggaran untuk investasinya, termasuk menganjurkan transparansi dan melakukan pemeriksaan rutin, namun kurangnya kepercayaan dapat menandakan masih adanya permasalahan lain yang harus mendapatkan perhatian dari organisasi: faktor manusia atau Sumber Data Manusia (SDM).
Dua dari tiga tantangan utama keamanan siber besar kesemuanya berkaitan dengan “faktor manusia/orang”, yaitu kesadaran karyawan (54%) dan pemahaman dari manajemen (40%).
“Perusahaan-perusahaan Indonesia tengah dihadapkan pada jenis-jenis serangan siber baru sepanjang tahun. Meskipun mereka sadar akan arti pentingnya penerapan higiene di lingkungan siber dasar, namun edukasi tentang keamanan siber saja belumlah mencukupi,” katanya.
Dijelaskannya perangkat-perangkat untuk keamanan siber yang mendayagunakan otomatisasi dan machine learning telah menjadi instrumen untuk melakukan tindakan preventif serta mempercepat respons terhadap ancaman-ancaman siber, baik yang known maupun unknown, yang dihadapi bisnis setiap harinya.
Menurutnya hal ini sangat penting terutama bagi Indonesia, rumah bagi populasi terbesar pengguna internet di dunia, dengan lanskap e-commerce dan pembayaran digital yang berkembang pesat,” pungkas Surung Sinamo. (gusti/red)