Medan (pewarta.co) – Perempuan yatim inisial SN (16), seorang anak putus sekolah meminta keadilan ke Polda Sumut. Dia mengaku menjadi korban kejahatan seksual yang dilakukan oknum kepala desa (kades).
Didampingi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumut dan 71 orang masyarakat, korban datang dari Desa Aek Jangkan Kecamatan Halongonan, Padang Lawas Utara membuat laporan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Sumut, Senin (2/10/2017).
Kedatangan mereka ke Poldasu sebagai sikap kecewa dengan respon Polres Tapsel. Korban pernah melapor pada September 2017, namun penyidik di Polres Tapsel disebut telah meng-SP3-kan (dihentikan) kasus tersebut.
Korban dan masyarakat yang menjadi saksi pelapor menduga Polres Tapsel nekat menghentikan kasus ini karena adanya ‘upeti’ dari pelaku pencabulan sebesar Rp 100 juta.
“Pelaku dugaan pencabulan ini berinisial HS yang berprofesi seorang kepala desa. Keterangan korban kepada kami, dia dicabuli pelaku di sebuah rumah kosong milik pelaku sendiri. Kejadiannya pada 24 Mei 2017 lalu,” sebut Sekretaris Jenderal LPA Sumut, Junaidi Malik.
Menurut keterangan korban, perbuatan tidak senonoh ini terungkap setelah menceritakan kepada adik majikannya bernama Siti Khoriah. Korban bekerja di toko grosir milik ayah Siti Khoiriah. Korban membeberkan pencabulan yang dialaminya.
Pengakuan korban membuat Khoiriah berempati. Saksi melaporkan kejadian itu ke abangnya bernama Perhimpunan Ritonga hingga membuat geram.
Perhimpunan lalu mengajak para tetangganya bermusyawarah. Mereka bersama korban mendatangi rumah pelaku yang tak lain adalah kepala desa.
Tujuan kedatangan masyarakat itu guna meminta klarifikasi dari kades. Namun, pelaku membantah. Malah, pelaku mengancam akan melaporkan balik korban karena telah memfitnahnya.
Tak terima atas sikap pelaku yang tidak akomodatif, 71 orang masyarakat sepakat melapor ke Polres Tapsel.
Sebanyak 71 orang dari masyakat itu menandatangani petisi siap sedia berdiri di garda terdepan melaporkan pelaku ke polisi. Laporan dibuat di Polres Tapsel, namun belakangan dihentikan.
“Pelaku diduga telah menyuap polisi dan ibu korban, sehingga ibu korban bungkam dan menolak ikut melapor. Ibu korban memang bekerja di kebun karet milik pelaku,” terang Junaidi Malik.
Tak hanya itu, sambung Junaidi, korban disuap oleh pelaku dengan memberikan dua hektar tanah. “Tapi korban menolak tegas. Korban ingin kasus ini diselesaikan secara hukum,” tegasnya.
Karena itu, sambung Junaidi, LPA Sumut serius mengawal kasus anak ini. Sesuai kesepakatan antara LPA dan Kapoldasu tempo hari, Kapolda mengatakan kasus kejahatan seksual pada anak sudah menjadi atensinya.
“Kami minta ketegasan Pak Kapolda untuk mengungkap kejahatan seksual ini,” pungkas Junaidi.
sementara, Kasubdit IV/Renakta Ditreskrimum Poldasu AKBP Hari Sandy Sinurat mengaku, pihaknya sudah menerima kedatangan korban, para saksi didampingi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumut.
Aspirasi pihak korban sudah didengarkan. Bahkan, Subdit 4, sempat diberikan konseling kepada korban.
Namun Sandy menepis kasus ini sudah dihentikan (SP3). Ia mengaku sudah menghubungi Kasat Reserse Kriminal Polres Tapanuli Selatan dan mendapat informasi kasus ini tidak di-SP3-kan.
Dikatakan, kasusnya belum duduk karena korban kepada penyidik Polres Tapsel, tidak mengakui dicabuli pelaku. Sehingga penyidik tidak memiliki alat bukti yang cukup untuk melanjutkannya.
Kendati demikian, kata Sandy Sinurat, pihaknya telah menyarankan korban melapor ke Wasidik (bidang pengawasan penyidik) Poldasu. Tujuannya, agar Wassidik yang memanggil penyidik Polres Tapsel. Jika perlu, dilakukan gelar perkara di markas Polda Sumut, dengan mengundang pihak lain untuk mendapatkan masukan.
“Jadi kasusnya belum dihentikan. Cuma penyidik Polres Tapsel tidak memiliki alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka,” pungkas Sandy melalu telepon seluler. (red)