Medan (Pewarta.co)-Adalah perkara enteng bagi seorang jurnalis untuk bisa berfoto atau bertandang ke ruang kerja seorang tokoh bangsa.
Namun menjadi hal besar karena selama 21 tahun bergelut di dunia penyampai informasi, hal itu kesampaian.
Sepintas, tak masuk akalkan? Tapi itu faktanya. Ditemani seorang sahabat, Chairum Lubis SH, tokoh muda pers di daerah ini dan seorang jurnalis muda belia, Amek, niatan jumpa dengan jenderal bintang di Polda Sumut itupun mulus.
Hari Rabu, tanggal 18 Desember 2019, tengah hari lewat sedikit. Kok bisa ya? Maaf, saya tidak usah sebutlah nama sang jenderal, karena kuatir nanti dikomen nyeleneh.
”Taunya awak diumbang, tapi sor pula awak.” Itu khas komentar sang jenderal asal dighibah.
Tapi lewat tulisan ini saya ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya diberi kesempatan bertandang ke ruangan kerjanya.
Meja semi bundar dan sofa coklat tua, menjadi saksi pecah telor 21 tahun saya jatuh bangun menjadi seorang jurnalis.
Di meja kaca ada setumpuk aqua gelas, socolatos (coklat), sepiring jagung dan kacang rebus.
Khas sekali sajian makanannya dari kampung. Tapi itupun sudah paten kali buat saya.
Karena memang baru kali ini dianugerahi kesempatan masuk dan duduk disofa tamu ruangan kerja sang jenderal.
21 tahun saya berdinas, pernah disuruh bertapa ke Jawa Pos, Surabaya sana, ke Jakarta beberapa bulan menjadi wartawan magang sebelum Indopos (koran grup Jawa Pos), jadi CNN (cuma nengok-nengok) pecahnya Tragedi Sampit, baru akhirnya terdampar lagi ke Kota Deli.
Jumpa tokoh atau pejabat di Surabaya, Jakarta atau Riau (pernah juga ke Riau Pos saya disekolahkan selama beberapa bulan), perkara kecil buat saya.
Bagi teman-teman jurnalis lain pun gampanglah itu, ya kan? Tapi bertandang ke ruangan kerja tokoh bangsa di kampung sendiri, kok bisanya, baru Rabu siang itu diijabah Allah.
Saya sempat mikir, mimpi apa semalam sebelum bincang-bincang dengan jenderal yang semasa muda, menurut saya, wajahnya mirip Onky Alexender (Film Catatan Si Boy).
Ternyata, memang tidak ada bermimpi firasat apapun, malamnya.
Ini mukjizat. Karena diberi waktu longgar merekam benda-benda apa saja di ruangan sang jenderal.
Tidak ada yang luar biasa di dalamnya. Sederhana dan lengang. Hanya seperangkat alat lari di tempat, rak lemari berisi piagam dan plakat penghargaan. Semuanya tertata rapi.
Ada satu hal ganjil lagi, yakni satu daun jendela kaca yang terbuka.
Satu jendela ini khusus dibuka agar kepulan asap rokok bebas mengudara keluar.
Maklum saja, sang jenderal termasuk nominator ‘Raja Isap’ di provinsi ini. Saat bincang-bincang, dari mulutnya selalu keluar kepulan asap rokok.
Sebungkus rokok belum habis saja, kadang sudah dipesan lagi bungkus yang baru. ”Siapapun Kapoldanya, asal bisa menghisap rokok di ruanganya, sudah pas lah itu buat saya,”katanya enteng. Apa maknanya, silahkan artikan sendiri.
Itu semua menjadi bunga-bunga penantian selama 21 tahun bagi saya.
Mungkin bagi jurnalis handal lain, sebut saja Budi Amin Tanjung, Resi, Zulkifli, John Manik, Edy Iriawan, Lilik Riadi, Is Mugiman, Hermanshah dan yang lainnya, bertandang ke ruangan itu bukan hal tabu.
Sepele memang tapi itulah pengalaman hidup saya. Bagaimana dengan kalian? Eheheee.