Jakarta (pewarta.co) – Memaknai Hari Kemerdekaan ke-72 RI, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyampaikan betapa pentingnya soliditas bangsa. Dengan meningkatkam persatuan dan kesatuan bangsa, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi negara super power.
“Nilai yang terpenting, kita bisa mempertahankan NKRI selama 72 tahun, menjadi satu bangsa yang utuh dalam rangka NKRI. Bayangkan negara-negara lain banyak yang sudah pecah, berantakan, seperti Soviet negara sangat powerfull, politik, militer, ekonomi bisa berantakan.
Yugoslavia, Irak, Syria, berantakan semua,” jelas Tito kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (16/8/2017).
Persatuan dan kesatuan bangsa adalah modal yang paling penting dalam membangun masa depan bangsa, sehingga masih diperbitungkan dunia. Tanpa itu, sumber daya alam yang melimpah tidak akan bisa menjadi kekuatan apa-apa bagi bangsa.
“Kita punya modal penting, rasa persatuan dan kesatuan, solidaritas internal yang terbukti 72 tahun masih bertahan, kita punya modal lain jumlah penduduk yang besar, luas wilayah yang besar, sumber daya alam yang melimpah,” kata Tito.
Ia berharap, di momen HUT RI ini, persatuan dan kesatuan bangsa akan semakin menguatkan Indonesia untuk bersaing dengan negara lain.
Sehingga, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi negara adidaya seperti Amerika Serikat.
“Dan sekali lagi ini bukan, kita mungin menganggapnya, saya lihat di komentar, saya menyampaikan bahwa Indonesia bisa menjadi negara super power, banyak yang dikomentar pesimis, banyak omonglah,” ungkapnya.
Tito mengatakan, untuk menjadi negara adidaya itu ada tiga syarat yakni populasi yang besar, sumber daya alam yang melimpah dan luas wilayah yang besar.
“Saya belajar waktu saya (meraih gelar) Phd di Singapura, bahwa negara yang bisa menjadi negara super power syaratnya tiga. Satu, populasi yang besar karena bisa menjadi angkatan kerja yang besar; kedua, sumber daya alam yang melimpah, untuk menjadi bahan baku dalam rangk untuk memutar mesin produksi yang masif, dan ketiga, mempuntau luas wilayah yang besar untuk mengamomodir mesin produksi yang masif tadi,” paparnya.
“Tiga-tiganya ini dimiliki Indonesia, hanya beberapa negara yang memiliki itu, China, India, Amerika, Rusia, Indonesia, Brasil, itu yang paling utama enam (negara) itu. Nah negara lain yang tidak memiliki tiga ini, tidak akan bisa menjadi negara super power,” tambahnya.
Tanpa ketiga syarat itu tadi, tidak mungkin suatu negara bisa menjadi negara super power. Ia mencontohkan seperti Singapura yang negaranya lebih sejahtera, namun memiliki sumber daya alam dan populasi yang minim sehingga tidak punya peluang untuk menjadi negara
super power.
“Ada negara luas wilayah besar, sumber daya alam melimpah, Australia, tapi populasinya hanya 20 juta saja, tidak bisa menjadi mesin produksi yang besar, sulit menjadi negara super power. Negara-negara super power misalnya, Switzerland, negara super power harus
memiliki mesin produksi yang besar. Jadi saya mengatakan itu bukan tanpa dasar, ada landasan preferensinya,” sambungnya.
“Nah tinggal bagaimana untuk angkatan kerja bisa produktif, bukan menjadi beban. Sumber daya alam betul-betul bisa dimanfaatkan untuk
mesin produksi kita, luas wilayah juga demikian. Apalagi letak geografis Indonesia sangat strategis, di antara dua benua, dan dua samudera.
Jadi potensi super power bukan omong kosong, karena itu tadi,” tambahnya lagi.
Selama 72 tahun Indonesia masih bertahan karena terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Beberapa negara di Eropa yang pernah menjadi negara berkuasa akhirnya hanya menjadi catatan sejarah setelah terpecah belah.
“Bandingkan dengan Soviet sudah berantakan, Yugoslavia yang didirikan Josip Broz Tito kawannya Bung Karno. Bung Karno, bangsa Indonesia yang beliau dirikan 72 tahun lalu masih survive, tapi bangsa Yugoslavia sudah dalam museum saja karena pecah tujuh negara. Jadi
di museumnya Bosnia orang mungkin lihat dulu negara Yugoslavia dipimpin Josip itu sejarah pelajaran di museum, sudah dalam buku-buku
sejarah, tapi kita Indonesia masih eksis,” katanya. (dtc/red)